PENDAHULUAN
Tak bisa dipungkiri bahwa dunia yang kita
tempati telah berkembang menjadi demikian maju dan menjelma menjadi apa yang
kemudian dikenal sebagai “global Village” (desa dunia).Salah satu
implikasinya adalah makin meningkatnya kontak-kontak komunikasi dan hubungan
antar berbagai bangsa dan negara.
Sebagai bangsa yang multietnik, Indonesia memiliki
potensi konflik, baik secara vertikal maupun horisontal. Dari perspektif
komunikasi antar-budaya, konflik antar etnik dapat bermula dari perbedaan
identitas budaya yang dikomunikasikan secara etnosentris. Paling tidak, menurut
Wargahadibrata, dalam kesehariaannya, tiap kelompok etnis tidak berusaha
sungguh-sungguh untuk menjalin komunikasi (antar-budaya), tetapi cenderung
melakukan penghindaran komunikasi (Wargahadibrata, 2002).
Berbagai masalah bisa saja timbul ketika
terjadi kontak antarbudaya,karena masing-masing pihak tidak mau memahami pihak
lainnya, sementara kebudayaan yang berbeda serta merta juga diwarnai perbedaan
dalam hal ideologi, orientasi dan gaya hidup.
Menyadari kemungkinan timbulnya masalah karena
perbedaan antarbudaya, yang bisa jadi bahkan mengerucut pada konflik,
kekerasan, permusuhan, perpecahan, deskrimnasi, dsb.,maka dirasa makin perlu
mempelajari masalah-masalah komunikasi antarbudaya.
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI DIMENSI BUDAYA
Geert Hofstede
merupakan seorang sosiolog yang pada tahun 1967 - 1973. Menurut Hofstede,
budaya merupakan suatu pemrograman kolektif dari pikiran yang membedakan
anggota suatu kelompok atau kategori orang, dengan yang lain.
Hofstede
menganalisis budaya dari beberapa bangsa dan mengelompokkannya ke dalam
beberapa dimensi. Dimensi budaya menurut Hofstede adalah: Perbandingan budaya
mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan, setiap budaya
sebenarnya tidak begitu unik, setiap
budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu
berarti. Berikut adalah dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede:
1)
Power
Distance (Jarak kekuasaan)
Jarak kekuasaan adalah mengenai sejauh mana anggota dalam organisasi serta lembaga tsb menerima
kekuasaan dan berharap penyamarataan dalam pendistribusian kekuasaan.
Orang-orang yang berada dalam small
power distance membutuhkan kesamaan kekuasaan, dan pembenaran untuk
ketidaksejahteraan terhadap kekuasaan. Sedangkan orang-orang dalam large power
distance menerima perintah hirarki, dan mereka telah berada dalam tempatnya
masing-masing tanpa perlu adanya pembenaran.
Contohnya, Indonesia merupakan negara yang
menunjukkan jarak kekuasaan tinggi/large power distance. Terlihat jelas
perbedaan secara budaya maupun politik antara penguasa dengan orang yang tidak
punya kuasa. Austria merupakan negara small power distance, yang di dalamnya
terlihat kesamaan kekuasaan antara penguasa dengan yang tidak punya kuasa.
Dalam masyarakat small power
distance, mereka mudah menerima
tanggungjawab. Sementara pada masyarakat large power distance, maka orang lebih
disiplin karena rasa takut akan kekuasaan.
2)
Uncertainty
Avoidance (Penghindaran ketidakpastian)
Dimensi ini terkait dengan
masyarakat yang merasa tidak nyaman untuk menghadapi masa depan yang tidak
diketahui atau tidak ada kepastian dan keragu-raguan. Inti pada dimensi ini
adalah bagaimana reaksi sebuah masyarakat terhadap fakta bahwa waktu hanya
berjalan satu arah dan masa depan tidak diketahui serta
apakah akan mencoba untuk mengontrol masa depan atau membiarkannya.
Orang-orang yang memiliki dimensi
budaya high uncertainty avoidance cenderung lebih emosional. Mereka mencoba
untuk meminimalkan terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa.
Saat terjadi perubahan mereka menjalaninya dengan hati-hati, langkah demi
langkah dengan perencanaan dan menerapkan hukum serta peraturan yang berlaku.
Sedangkan low uncertainty avoidance
menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan
yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa
aturan dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung
lebih pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
Indonesia bersama Kanada berada di
urutan 41/42 dari 53 negara. Ini berarti Indonesia termasuk dalam low
uncertainty avoidance yang tidak takut dengan perubahan dan lebih toleran terhadap
perbedaan pendapat. Sedangkan Singapura adalah negara yang paling bisa menerima
ketidakpastian
3)
Individualism
vs Collectivism (Individualis vs Kolektivitas)
Individualis dan kolektivitas
mengacu pada sejauh mana individu diintegrasikan ke dalam kelompok kelompok
utama menyangkut ikatan di masyarakat.
Dalam masyarakat yang individualism,
tekanan atau stres diletakkan dalam permasalahan pribadi, serta menuntut
hak-hak individu. Orang-orang diharapkan untuk membela diri sendiri dan
keluarga mereka. Sedangkan dalam masyarakat collectivism, individu bertindak
terutama sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi
tercipta di dalam kelompok mereka (kelompok di sini tidak mengacu kepada
politik atau negara). Orang-orang memiliki keluarga besar, yang dijadikan
sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak diragukan.
Indonesia berada di urutan 47 dari
53 negara, yang menunjukkan orang kita cenderung hidup secara berkelompok. Ini
cocok dengan semboyan kita: gotong royong. Sebagai perbandingan negara yang
paling individual adalah Amerika Serikat.
4)
Masculinity
vs Feminimity (Maskulin vs feminim)
Dimensi ini terkait dengan pembagian
dari peran emosi antara wanita dan laki-laki.
Masculinity berkaitan dengan nilai
perbedaan gender dalam masyarakat, atau distribusi peran emosional antara
gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity) terkandung
nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan. Dimensi
feminin (feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap hubungan dan
kualitas hidup.
Dalam dimensi maskulin, perbedaan
antara peran gender nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel dibandingkan
dengan dimensi feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama,
menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
Penggunaan terminologi feminin dan
maskulin yang mengacu terhadap perbedaan gender yang jelas tersirat melahirkan
kontroversial. Sehingga beberapa peneliti yang menggunakan perspektif Hofstede
(2011) mengganti terminologi tersebut, misalnya “Kuantitas Hidup” dengan
“Kualitas Hidup”.
Indonesia bersama Afrika Barat ada
di urutan 30 dan 31 dari 53 negara. Ini menunjukkan Indonesia dalam posisi
sedang-sedang saja. Sebagai perbandingan yang paling maskulin adalah Jepang dan
yang paling feminin adalah Swedia. Pantaslah Swedia adalah negara dengan
tingkat kekerasan terhadap perempuan yang paling kecil di dunia.
5)
Long
Term vs Short Term Orientation (Orientasi jangka panjang vs Orientasi jangka
pendek)
Hal ini terkait kepada pilihan dari
fokus untuk usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu. Orientasi
jangka panjang dan orientasi jangka pendek menggambarkan fokus dan nilai-nilai
budaya yang menyangkut pola pikir masyarakat.
Masyarakat yang berorientasi jangka
panjang (long term orientation) lebih mementingkan masa depan. Mereka mendorong
nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, status, sikap hemat,
termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.
Masyarakat yang memiliki dimensi
orientasi hubungan jangka pendek (short term orientation), terkait dengan masa
lalu dan sekarang, termasuk kestabilan, menghormati tradisi, menjaga selalu
penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban - kewajiban sosial.
Kebanyakan negara-negara di Asia seperti Cina dan Jepang cenderung
memiliki orientasi jangka panjang, sementara bangsa-bangsa barat cenderung pada
jangka pendek. Dan negara yang sangat tertinggal juga cenderung memiliki
orientasi jangka pendek. (Hofstede G., 2011)
B.
DEFINISI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Komunikasi antarbudaya (intercultural
communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara
orang-orang berbeda budaya (Maletzke dalam Mulyana, 2005: xi). Komunikasi antarbudaya
pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi:
apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa
yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara mengkomuni-kasikannya (verbal dan nonverbal)
dan kapan mengkomunikasikannya (Mulyana, 2005: xi).
Menurut
Crossman et al, istilah komunikasi lintas budaya (cross cultural communication)
dan komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah berbeda.
Perbedaan komunikasi antarbudaya dengan komunikasi lintas budaya dikaitkan
dengan apa yang terjadi ketika orang berbeda budaya berinteraksi dan mereka memodifikasi
komunikasinya sebagai hasil dari interaksi komunikasi, sementara komunikasi
lintas budaya focus pada aspek kesamaan dam berbedaan antarbudaya.
Rogers
dan Steinfatt mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai pertukaran
informasi antara individu yang berbeda secara budaya (Pearson et al., 2010:
168). Knapp mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi antar
individu antara anggota kelompok yang berbeda satu sama lain dalam hal
pengetahuan yang dimiliki oleh anggota mereka dengan menggunakan bentuk-bentuk
linguistic dan perilaku simbolis (iri, 2009; 532). Ting-Tomey mendefinisikan
komunikasi antarbudaya sebagai sebuah proses pertukaran simbolik dari individu
yang berlatar belakang budaya berbeda, dalam upaya menegosiasikan makna bersama
dalam sebuah situasi komunikasi yang bersifat interaktif.
Pakar
komunikasi lainnya menganggap istilah komunikasi lintas budaya bisa
dipertukarkan dengan komunikasi antarbudaya, komunikasi multibudaya, komunikasi
trans budaya (Doerr, 2004; 6).
Hall dan Hall
menggunakan istilah cross-cultural communication dalam mendefinisikan interaksi
dan proses komunikasi budaya “The essence of effective cross cultural
communication has more to do with releasing the right response than with
sending the right message.” Pada titik ini penulis lebih cenderung berpendapat
komunikasi antarbudaya (intercultural communication) dapat dipertukarkan atau
memiliki makna yang sama dengan komunikasi lintas budaya (cross cultural
communication). (Priandono, 2016:58)
Prinsip Dasar Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya
bersifat kompleks yang merupakan kombinasi dari aspek budaya, budaya mikro,
lingkungan, persepsi dan konteks hubungan sosial antara dua orang yang
melakukan proses mengirim dan menguraikan pesan verbal dan non-verbal. Karena sifatnya yang kompleks, komunikasi antarbudaya memiliki
prinsip dasar (Neuliep, 2011; 32-37) sebagai berikut.
Prinsip
ke-1, selama komunikasi antarbudaya,
pesan yang dikirim biasanya bukanlah pesan yang diterima. Kapanpun orang dari
budaya beda saling bertukar pesan, mereka membawa seluruh kerangka pemikiran,
nilai, emosi, dan perilaku yang telah tertanam dan di budidayakan oleh budaya
mereka. Komunikasi antar budaya merupakan aktivitas pemaknaan dimana pemikiran
dan ide seseorang diterjemahkan ke dalam format pesan verbal dan non-verbal dan
kemudian disampaikan melalui saluran komunikasi kepada orang lain yang harus
menguraikan pesan tersebut.
Pesan
yang kita sampaikan dikodekan menggunakan cara pandang budaya kita, sebaliknya
pesan yang diterima oleh orang dari budaya yang lain diuraikan menggunakan cara
pandang budaya mereka sendiri. Contohnya, sikap diam seorang Jepang atau Jawa
bermakna semakin bijak seseoran adalah orang yang tidak banyak bicara, tetapi
sebaliknya makna diam bagi masyarakat Barat dinilai sebagai orang yang
menyembunyikan sesuatu, tidak terbuka.
Prinsip
ke-2, komunikasi antarbudaya pada intinya tindakan non-verbal
atarpelaku komunikasi. Sejauh guru bahasa asing memercayai bahwa kompetensi bahasa
asing merupakan kunci sukses dalam komunikasi lintasbudaya. Memang benar
kemahiran berbahasa asing mempermudah kontak lintas budaya tetapi sebenarnya
komunikasi lintas budaya lebih bersifat pada proses non-verbal dibandingkan
pesan verbal. Ekspresi keintiman, kekuasaan, dan status antar pelaku komunikasi
secara khas dibentuk melalui paralinguistic, isyarat, kedekatan, sentuhan, dan
ofaltik.
Prinsip
ke-3, komunikasi antarbudaya semsetinya
melibatkan benturan gaya komunikasi. Di Amerika Serikat, berbicara merupakan
nilai budaya yang penting. Orang dinilai dari cara mereka berbicara. Namun diam
yaitu mengetahui kapan tidak berbicara adalah prasyarat mendasar untuk
kompetensi bahasa dan budaya. Penggunaan dan pemaknaan diam bervariasi antar
budaya. Dalam budaya yang kolektif (Jepang, Korea, India), diam lebih penting
dibandingkan berbicara, khususnya dalam mempertahankan keintiman hubungan.
Mereka memercayai ekspresi keintiman lebih baik menggunakan pesan non-verbal,
dan mengungkapkan pikiran serta emosi melalui bahasa verbal akan mengurangi
bahkan membuatnya dinilai rendah.
Prinsip
ke-4, komunikasi antarbudaya merupakan
fenomena kelompok atau komunitas yang dialami oleh individu. Ketika kita
berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan budaya kita membawa asumsi dan
kesan terhadap orang tersebut. Pesan verbal dan non-verbal biasanya disesuaikan
dengan kesan dan asumsi. Seringkali, asumsi dan kesan tersebut didasarkan pada
karakteristik keanggotaan orang tersebut didalam seuatu komunitas atau kelompok
seperti budayanya, ras, jenis kelamin, umur, dan pekerjaan. Dengan kata lain,
kita memiliki kecenderungan melihat orang lain tidak sebagai individu dengan
keunikan pemikiran, ide, dan tujuan, tetapi melihat dari sudut pandang
kelompoknya seperti “Asia”, “perempuan”,
“orang tua”, atau “supir taksi”. Artinya, kita melihat kelompok dimana
orang tersebut menjadi bagiannya. Dalam proses komunikasi antarbudaya, kita
membangun afiliasi kelompok menggunakan sejumlah alat seperti stereotip,
etnosentrisme, rasisme. Kita akan cenderung menilai afiliasi kelompok kita
lebih baik, dan sebaliknya, menilai lebih rendah afiliasi kelompok budaya lain.
Prinsip
ke-5, komunikasi antarbudaya merupakan
sebuah siklus yang melibatkan adaptasi dan tekanan, dimana ketika kita bersama
orang lainyang berbeda budaya kita akan merasa cemas, khawatir, dan tidak
pasti, sebuah perasaan yang membuat kita mengalami tekanan. Namun, dari kondisi
tersebut kita akan dapat belajar dan beradaptasi mengurangi tekanan dan
berusaha berkembang dengan mengenal dan menggali informasi pihak lain yang
berbeda budayanya. Dalam konteks komunikasi antar budaya, strategi komunikasi
dengan orang yang kita kenal mungkin tidak akan efektif digunakan ketika
digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda budayanya. Sehingga
kita harus belajar beradaptasi dengan gaya komunikasi kita. Kita harus
menyadari kita akan berbuat kesalahan, belajar dari kesalahan tersebut,
adaptasi, dan berkembang. Satu titik penting dalam komunikasi lintas budaya
adalah menyadari bahwa orang dari latar belakang budaya berbeda pasti akan
berbeda, bukan melalui kacamata baik atau buruk tapi bersifat berbeda. Ketika
kita bisa menyadari kita akan mampu beradaptasi. Dengan menyadari adanya
perbedaan kita bisa bersikap toleran terhadap keberadaan “yang lain”. (Priandono,
2016; 59-61)
C.
KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA
Topic
komunikasi antar budaya atau
intercultural communication, karena ia terkadang diistilahkan komunikasi
silang budaya atau cross cultural communication – telah semakin popular sebagai
tema pembahasan dalam beberapa tahun terakhir, dan semakin banyak tulisan yang
di dedikasikan untuk turut memberikan gambaran umum tentang teori dan
penelitian dibidang ini. (Lustig&Koester, 2002)
Apakah sebenarnya komunikasi antarbudaya itu sendiri? Setiap
kali kita berinteraksi dengan seseorang dari budaya lain, kita terlibat dalam
situasi komunikasi dalam beberapa derajat akan selalu tergolong komunikasi
antarbudaya. Dalam setiap situasi komunikasi, setaip orang membawa simbolnya
sendiri, makna, pilihan dan pola yang mencerminkan banyak budaya dimana mereka
pernah menjadi bagiannya selama masa hidup mereka.
Saat kita bertemu orang baru, saat itu kita ada dalam proses
negosiasi awal sebuah hubungan baru beserta budayanya. Sejak momen pertama dua
individu melakukan kontak, mereka memulai proses komunikasi antarbudaya, saling
mengeksplorasi, negosiasi, dan akomodasi. Dalam sejenak ketika kita mulai
memerhatikan seeorang kita belum tahu apakah kita memiliki kesamaan tingkat
pengetahuan, latar belakang, orientasi waktu, filsafat politik, pola gerak
isyarat, bentuk salam, orientasi keagamaan, atau bahkan kemampuan bahasa yang
sama. Dan kita tidak tahu apakah kita memiliki kesamaan pengalaman dalam
hubungan, dalam kelompok atau organisasi sebelumnya.
Begitu
kita berinteraksi, kita menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidakpastian
kita tentang situasi dan orang-orang yang terlibat (De
Vito , 1994:442-443). Kita saling bicara dan mendengar satu sama lain. Kita mempelajari
penampilan, pakaian, perhiasan, postur, dan cara berjalan. Secara bertahap kita
mulai memperoleh informasi yang membantu kita untuk menentukan apa yang kita
miliki bersama dan dimana kita berada. Sejalan dengan proses yang berlanjut,
pangkalan informasi bersama kita terus tumbuh meluas yang memungkinkan kita
menjadi bagian datinya.
Sementara prosesnya dapat tampak
sedemikian sederhana, potensi dan komplesitas masalahnya bisa sangat berat.
Ahli komunikasi Joseph De Vito menawarkan panduan berikut untuk menghindari
hambatan dalam komunikasi antarbudaya (Karl Deutsch,
1966):
1.
Kenalilah
perbedaan buaya anda dan budaya orang lain. Jika anda ragu, bertanyalah;
buanglah asumsi kesamaan. Tetapi, pada saat yang sama, sadari dan carilah
nilai-nilai kesamaan, kemudian gunakanlah kesamaan itu dalam kontak.
2.
Mengakui
bahwa perbedaan itu ada dalam setiap kelompok. Hindari stereotip, jangan
terlalu menyamaratakan, atau beranggapan bahwa perbedaan dalam suatu kelompok
tidak penting.
3.
Ingatlah
bahwa maknaada pada diri seseorang dan bukan tempat dalam kata kata atau dalam
gerak isyarat yang digunakan. Periksalah makna anda dengan makna yang dimiliki
oleh orang lain. Pastikan bahwa setiap asumsi kesamaan atau perbedaan tentang
makna memang benar adanya.
4.
Waspada
terhadap aturan-aturan budaya yang berlaku dalam setiap konteks komunikasi
antarbudaya. Berlakulah sensitive terhadap aturan-aturan yang dianut oleh orang
lain. Berusahalah menghindari asumsi bahwa yang benar dan logis hanyalah aturan
anda. Kalau ragu-ragu, bertanyalah.
5.
Hindari
evaluasi negative terhadap perbedaan budaya baik secara verbal maupun
non-verbal. Lihatlah kebiasaan dan peraturan budaya sebagai sesuatu yang
arbitrer dan menyenangkan, dan bukan sesuatu yang alamiah dan masuk akal.
6.
Jaga
diri dari kejutan budaya dengan mempelajari sebanyak mungkin budaya yang akan
anda masuki. Misalnya, dengan membaca, berbicara dengan orang dari budaya itu
dengan mereka yang memiliki pengalaman dengan budaya itu, dan menonton film.
Contoh kasus komunikasi antarbudaya yakni kasus kasus etnik Madura dan etnik Dayak (Iskandar, 2004;
131-132). Orang-orang Madura yang datang dari tanah asalnya (Pulau Madura),
lalu menetap di Kalimantan Barat tentunya bukanlah untuk bersenang-senang.
Sejak awal kedatangannya (sekitar pergantian abad ke-19), mereka dipekerjakan
sebagai kuli kontrak untuk membuka hutan dan perkebunan; sementara kebanyakan
orang Dayak Kalimantan Barat adalah peladang berpindah. Sejak tahun 1970-an,
banyak orang Madura yang datang. Mereka bekerja sebagai tukang becak, buruh
pertambangan/pelabuhan/harian, pedagang kaki lima, bertani, dan wanitanya
berjualan sayuran. Di dalam masyarakat yang sangat keras, dipicu kekerasan,
orang Madura yang keras dapat juga berpenghasilan lebih baik, hingga ada pula
yang mampu menunaikan ibadah haji. Sementara orang Dayak beragama Kristen dan
tetap menjunjung tradisi.
Di samping
berwatak keras, orang Madura dikenal bersifat kasar dan susah dipercaya. Dalam
pandangan orang Dayak, tradisi dan sifat orang Madura adalah suka membawa
senjata tajam, membunuh, memperkosa, merampok, mencuri, dan memaksakan
kehendaknya pada orang lain. Orang Madura segera memakai clurit/pisau dalam
perkelahian (tradisi carok); sementara orang Dayak melaksanakan tradisi
"mangkok merah" (pengumuman perang) jika ada anggota klannya yang
terluka dalam suatu perkelahian. Bagi orang Madura, menyerang dari belakang
terhadap musuh yang tak bersenjata pun tidak menjadi masalah, selama motifnya
terhormat.
Demikianlah
etnosentrisme yang menunjukkan kecenderungan untuk menafsir atau menilai semua
kelompok lain, lingkungan mereka, dan komunikasi mereka menurut
kategori-kategori dan nilai-nilai budaya sendiri (Samovar, Porter & Jain:
1981). Bagi etnis Dayak yang terbaik bagi orang Madura adalah tidak hidup menyendiri
atau terpisah dari komunitas Dayak. Kecenderungan etnis Madura seperti itu
dinilai sebagai ketidakmampuan dan keengganan orang Madura untuk berintegrasi
atau menghormati kehidupan sosial orang Dayak. Episode berikut menunjukkan
bagaimana orang Madura membuat orang Dayak memukulnya.
HUBUNGAN ANTARA KOMUNITAS DAN BUDAYA.
Mari kita
periksa konsep budaya beserta hubungannya dengan komunikasi secara lebih rinci:
Pertama, adalah sangat membantu untuk mengingatkan kita sendiri bahwa semua
sistem sosial-hubungan, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat
berkembang dan memelihara budaya (Lee Thayer, 1908;47).
Proses yang
sama muncul dalam sekelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang
terlibat lebih besar. Saat jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan
kenyataan yang dibagi pun berkembang. Dalam setiap kejadian ini, sebagaimana
kita telah mengerti, kata-kata khusus, atau frasa-frasa tertentu, pendekatan
kepemimpinan, norma perilaku, atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai hasil
dari komunikasi dan adaptasi mutualistik diantara para anggota.
Didalam
masyarakat, seperti didalam sistem sosial lainnya komunikasi adalah sarana
melalui mana individu-individu menciptakakan, berbagi dan melanggengkan budaya.
Pola komunikasi verbal dan nonverbal yang sama, orientasi keagamaan, politik,
gender, perkawinan, membesarkan anak, suku, dan sisi kehidupan sosial lainnya
adalah juga menjadi bagian dari budaya di setiap masyarakat.
Budaya yang terdapat pada hubungan,
kelompok, organisasi, atau masyarakat, melayani, fungsi yang sama terkait
komunikasi:
·
Menghubungkan
individu satu sama lain
·
Menciptakan
konteks untuk interaksi dan negosiasi antaranggota
·
Memberikan
dasar bagi identitas bersama.
Sebagaimana ditampakkan oleh ketiga
aspek diatas, hubungan antara budaya komunikasi adalah kompleks. Budaya adalah
hasil-tambahan dari kegiatan-kegiatan komunikasi yang berlangsung didalam
hubungan, kelompok organisasi, dan masyarakat. Tentunya, jika tidak karena
kapasitas bahasa simbolis manusia kita tidak akan bisa mengembangkan sebuah
budaya bersama. Dan, tanpa komunikasi besertaa teknologinya, menjadi tidak
mungkin untuk menyampaikan unsur-unsur budaya dari satu tempat ke tempat lain,
atau dari satu generasi ke generasi berikutnya, pada waktu bersamaan, pilihan,
pola, dan perilaku komunikasi perseorangan kita berkembang saat kita
beradaptasi kepada tuntutan budaya dan peluang yang kita jumpai di sepanjang
perjalanan hidup kita.
Sejauh kita
bisa nyatakan secara akurat bahwa budaya didefinisikan, dibentuk, ditransmisikan,
dan dipelajari melalui komunikasi, sejauh itu pulalah yang dapat kita katakan
secara akurat mengenai hal yang sebaliknya. Hasilnya, kemudian, adalah saling
memengaruhi secara resiprokal, atau pendefinisian secara timbal balik, antara
budaya dan komunikasi manusia. Melalui komunikasi kita membentuk budaya kita,
dan pada gilirannya, budaya membentuk pola-pola komunikasi kita.
D.
FAKTOR PENDORONG KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Dewasa ini
kajian komunikasi antarbudaya semakin menempati peran penting dalam komunikasi
manusia, baik dalam konteks komunkasi interpersonal seperti pernikahan
antarbudaya, keluarga, komunikasi organisasi, maupun komunikasi publik seperti
kampanye politik, komunikasi kesehatan.
Komunikasi
antarbudaya semakin menempati peran yang sangat penting di masa kini karena
terkait dengan sejumlah faktor pendorong. Menurut Samovar et al. (2010: 2),
terdapat sejumlah faktor yang membuat kajian komunikasi antarbudaya semakin
penting, antara lain: 1) globalisasi, 2) konflik inernasional dan masalah
keamanan, 3) kompetisi terhadap sumber daya alam, 4) masalah lingkungan hidup,
5) masalah isu
1.
Globalisai
dan Komunikasi Antarbudaya
tidak ada
negara di dunia saat ini yang mampu melepaskan diri dari pengaruh globalisasi,
bhakan negara deengan siistem sosial politik tertutup seklaipun seperti Korea
Utara. Fenomena globalisasi dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya saat ini
menjadi suatu keniscayaan yang harus dihadapi setiap negara. Noris dan
Inglehart (2009: 6) mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah proses perluasan
jaringan yang menciptakan saling ketergantungan mencakup baatas-batas negara
yang kemudian diikuti terjadinya peningkatan arus ide, modal, barang, layanan,
ekologi, dan orang melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Globalisasi
disini dipahami bersifat multi dimensi,
yang meliputi aspek ekonomi, aspek sosial, dan dimensi politik seperti
penyatuan kerja sama organisasi baik dalam kawasan regional aupun
internasional.
2.
Konflik
Internasional dan Masalah Keamanan
Neuliep (2011:
2) menyimpulkan bahwa hanya dengan kemampuan komunikasi antar budaya-lah
sejumlah konflik sosial tersebut dapat dikurangi, dan hanya dengan kompetensi
antarbudaya serta membangun hubungan sosial secara damai dengan orang lain yang
berbeda budaya. Pada titik inilah, dengan bellajar dimensi-dimensi budaya dan
pengaruhnya pada perilaku komunikasi manusia menjadi sangat penting.
3.
Kompetisi
Terkait Kelangkaan Sumber Daya Alam
Kompetensi
komunikasi antarbudaya yang memadai dibutuhkan untuk melakukan proses lobi dan
negosiasi di negara-negara yang memiliki latar belakang budaya yang jauh
berbeda. Tanpa memahami nilai budaya setempat, proses lobi dan negosiasi akan
menemui jalan buntu. Pada titik inilah,birokrat pemerintah maupun pengusaha
swasta harus membekali dirinya dengan kompetensi budaya.
4.
Tantangan
Isu Lingkungan
Setiap
komunitas budaya selalu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap alam
sekitarnya. memahami cara pandang budaya terhadap lingkungan merupakan kajian
ekologi budaya. Thomas menyatakan ekologi budaya menggambarkan perubahan
hubungan antarbudaya dan lingkungan atau jaringan keseluruhan dari kehidupan
manusia melalui adaptasi lingkungan. Ekologi budaya sebagai sebuah wacana,
dapat digunakan untuk apresiasi dialektis dan gerakan bahwa penelitian antar
budaya modern yang bertujuan untuk memahami bagaimana budaya berinteraksi
dengan lingkungan berkaitan dengan bagaimana masyarakat menghadapi dan
memecahkan masalah umum eksistensi manusia.
5.
Isu
Kesehatan dan Komunikasi Antarbudaya
Identitas
budaya tidak selalu menentukan status kesehataan masyarakat secara langsung,
tetapi dapat memengaruhi keputusan mereka tentang terlibat dalam perilaku yang memengaruhi status kesehatan mereka, karena
identitas budaya membentuk pemahaman masyarakat terhadap dunia fisik dan sosial
dan peran mereka didalamnya, identitas budaya juga membentuk keyakinan
masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, termasuk kriteria untuk pelabelan
diri sebagai sehat atau sakit, tindakan yang diambil untuk menghindari
penyakit, keputusan untuk mencari deteksi dini penyakit.
E.
MANFAAT BELAJAR KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Hiebert,
seorang antropolog, menyatakan bahwa kondisi komunikasi normal dalam konteks
sebuah budaya yang memiliki latar belakang yang sama, orang hanya mmahami 70
persen dari pesan yang disampaikan. Sedangkan dalam situasi komunikasi
antarbudaya tingkat pemahaman pesan komunikasi mungkin tidak akan melebihi dari
50 persen.
Proses
memahami dan bagaimana dipahami cenderung lebih rumit dalam situasi komunikasi
antarbudaya luas daripada situasi komunikasi antarbudaya yang terbatas. Aspek
pikiran, rasa, dan medium merupakan hasil dari sebuah budaya tertentu.
Perbedaan budaya menampilkan hambatan yang lebih besar dibandingkan komunikasi
dalam konteks komunikasi yang berbeda.
Manfaat
belajar komunikasi atar budaya sangatlah tidak ternilai. Manfaat tersebut
terentang dari aspek psikologi, budaya, sosial, maupun ekonomis. Meskipun
tantangan dunia yang semakin beragam besar, namun manfaat yang didapatkan dari
komunikasi antarbudaya jauh lebih besar. Berkomunikasi dan membangun hubungan
dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dapat memberikan sejumlah manfaat,
yang meliputi:
Pertama, komunikasi antar budaya menciptakan masyarakat yang lebih sehat.
Komunitas masyarakat yang sehat diciptakan dari individu-individu yang bekerja
sama untuk manfaat semuanya, tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Dengan pendekatan komunikasi antarbudaya yang terbuka dan jujur, masyarakat
dapat bekerja sama meraih tujuan yang bermanfaat untuk semua, tanpa
memerhatikan orientasi budaya atau kelompoknya.
Kedua,
komunikasi antarbudaya meningkatkan manfaat ekonomi baik yang bersifat
loka, nasional, dan maupun internasional. Kemampuan kita berinteraksi dengan
orang berlatarbelakang budaya berbeda baik di dalam maupun di luar negara
memiliki dampak ekonomi, seperti bekerja di perusahaan multinasional dengan
gaji tinggi, kedatangan wisatawan meningkatkan perekonomian, investasi
perusahaan multinasional. Hanya melalui komunikasi antarbudaya yang sukses,
potensi bisnis dapat diwujudkan.
Ketiga,
komunikasi antarbudaya mengurangi
konflik, konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, dan kita tidak
akan pernah bisa dihindarkan, dan kita tidak akan pernah bisa menghilangkannya.
Meskipun begitu, melalui komunikasi antarbudaya kita dapat mengurangi dan
mengelola konflik. Seringkali konflik dimaknai sebagai ketidakmampuan kita
melihat sudut pandang orang lain, khususnya dari budaya yang berbeda. Kita
mengembangkan kesimpulan yang bersifat umum tentang mereka (yang sering kali
tidak benar) dan tidak memercayai mereka. Perasaan seperti itu menyebabkan
perilaku defensif, yang meningkatkan konflik. Jika kita bisa belajar untuk
berpikir dan bertindak secara kooperatif atau tidak agresif dan komunikasi
antarbudaya responsif, kita bisa secara efektif mengelola dan mengurangi
konflik dengan orang lain.
Keempat,
komunikasi antarbuadaya menciptakan pribadi matang melalui peningkatan
toleransi. Ketika seorang individu berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda
budaya, individu tersebut belajar lebih mendalam tentang pandangan hidupnya,
termasuk didalamnya mengenai nilai kultural, sejarah, perilaku, dan substansikepribadian
mereka. Ketika hubungan berkembang, kita akan mulai memahami mereka lebih baik
mungkin berempati dengan mereka. Satu hal yang akan Anda pelajari adalah
meskipun budaya Anda berbeda, Anda sebenarnya memiliki banyak kesamaan, tiap
manusia memilikikeinginan dan kebutuhan dasar yang sama, kita hanya memiliki
perbedaan bagaimana cara meraihnya.
Perbedaan
berbeda dikemukakan oleh Hybels dan Weaver yang mengkalsifikasi manfaat belajar
komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
Pertama,
komunikasi antarbudaya dapat bermanfaat untuk membantu memahami identitas
kita. Keputusan kita tentang nilai budaya yang akan dianut atau dipertahankan,
gaya hidup, orientasi atau bahkan teman yang ingin Anda miliki sangatlah
dipengaruhi oleh faktor rasial, budaya, gender, dan kelas sosial yang
memengaruhi identitas diri kita. Menurut Samovar, komunikasi berperan sangat
penting menentukan dalam mendefinisiskan identitas kita, hubungan kita dengan
orang lain membantu kita memahami siapa diri kita, dimana Anda berada, dan
kemana kesetiaan Anda harus diberikan.
Kedua,
komunikasi antarbudaya membantu meningkatkan kemampuan interaksi personal
dan sosial. Semakin luas sudut pandang kita, kita semakin toleran dan mampu
mengakomodasi. Kesempatanmemiliki hubungan akrab antaa diri kita dengan orang
yang berbeda. Apakah itu dari segi umur, kemampuan fisik, gender, etnis, kelas
soial, agama, ras, dan kebangsaan akan meningkatkan kemampuan kita. Hubungan
yang mampu membantu kita belajar tentang dunia kita, menghilangkan stereotip,
dan mendapatkan kemampaun baru.
Ketiga,
komunikasi antarbudaya mampu menyelesaikan kesalahpahaman. Belajar tentang
komunikasi antarbudaya tidak hanya membuka kebuntuan komunikasi dari generasi
ke generasi, tetapij juga menyelesaikan kesalahpahaman, ketidaksalingpercayaan
melalui proses komunikasi yang jujur, terbuka, positif, dan sehat. Orang tidak
hanya takut tetapi tidak percaya kepada orang yang kita ketahui. Kepercayaan
dalam hubungan sosial diraih dari pengetahuan dan pemahaman.
Keempat,
komunikasi antarbudaya meningkatkan dan memperkaya kualitas peradaban
manusia. Mengenal dan menghargai budaya sangatlah penting dan menjadi langkah
penting dalam menciptakan kualitas peradaban kita. Kemampuan komunikasi
antarbudaya bisa mencegah konflik di masa yang akan datang baik di tingkat
internasional maupn di dalam negeri.
Kelima, komunikasi antarbudaya meningkatkan kemampuan kita menjadi warga
negara dalam konteks komunitas nasional. Kesimpulannya, manfaat utama dari
komunikasi antarbudaya adalah meningkatkan pemahaman fenomena komunikasi yang
dimediasi secara budaya. Komunikasi budaya tidak hanya diperlukan, tetepi
sebuah syarat keberhasilahn dalam masyarakat yang bersifat pluralistic (Ruben & Stewart, 2014)
PENUTUP
Dimensi budaya
menurut Hofstede adalah: Perbandingan budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu
yang harus dibandingkan, setiap budaya sebenarnya tidak begitu unik, setiap
budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu
berarti. Rogers dan Steinfatt mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai
pertukaran informasi antara individu yang berbeda secara budaya (Pearson et
al., 2010: 168).
Hubungan budaya
terkait dengan komunikasi antara lain menghubungkan
individu satu sama lain, menciptakan konteks untuk interaksi dan negosiasi antaranggota, dan memberikan
dasar bagi identitas bersama.
faktor pendorong
komunikasi antarbudaya semakin penting, antara lain: 1) globalisasi, 2) konflik
inernasional dan masalah keamanan, 3) kompetisi terhadap sumber daya alam, 4)
masalah lingkungan hidup, 5) masalah isu
dan terdapat berbagai macam manfaat dari mempelajari
komunikasi antarbudaya itu sendiri, seperti yang telah kami paparkan dalam
makalah kami di atas. Demikianlah makalah telah kami susun. Semoga dapat
bermanfaat. Kurang lebihnya mohon maaf. Terimakasih.
Download file di sini
0 komentar:
Posting Komentar