Sabtu, 09 Desember 2017

[PSI B] DIMENSI BUDAYA DALAM KAJIAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI

PENDAHULUAN
Tak bisa dipungkiri bahwa dunia yang kita tempati telah berkembang menjadi demikian maju dan menjelma menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai “global Village” (desa dunia).Salah satu implikasinya adalah makin meningkatnya kontak-kontak komunikasi dan hubungan antar berbagai bangsa dan negara.
Sebagai bangsa yang multietnik, Indonesia memiliki potensi konflik, baik secara vertikal maupun horisontal. Dari perspektif komunikasi antar-budaya, konflik antar etnik dapat bermula dari perbedaan identitas budaya yang dikomunikasikan secara etnosentris. Paling tidak, menurut Wargahadibrata, dalam kesehariaannya, tiap kelompok etnis tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menjalin komunikasi (antar-budaya), tetapi cenderung melakukan penghindaran komunikasi (Wargahadibrata, 2002).
Berbagai masalah bisa saja timbul ketika terjadi kontak antarbudaya,karena masing-masing pihak tidak mau memahami pihak lainnya, sementara kebudayaan yang berbeda serta merta juga diwarnai perbedaan dalam hal ideologi, orientasi dan gaya hidup.
Menyadari kemungkinan timbulnya masalah karena perbedaan antarbudaya, yang bisa jadi bahkan mengerucut pada konflik, kekerasan, permusuhan, perpecahan, deskrimnasi, dsb.,maka dirasa makin perlu mempelajari masalah-masalah komunikasi antarbudaya.








PEMBAHASAN
A.    DEFINISI DIMENSI BUDAYA
Geert Hofstede merupakan seorang sosiolog yang pada tahun 1967 - 1973. Menurut Hofstede, budaya merupakan suatu pemrograman kolektif dari pikiran yang membedakan anggota suatu kelompok atau kategori orang, dengan yang lain.
Hofstede menganalisis budaya dari beberapa bangsa dan mengelompokkannya ke dalam beberapa dimensi. Dimensi budaya menurut Hofstede adalah: Perbandingan budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan, setiap budaya sebenarnya tidak  begitu unik, setiap budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu berarti. Berikut adalah dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede:
1)      Power Distance (Jarak kekuasaan)
Jarak kekuasaan adalah  mengenai sejauh mana anggota  dalam organisasi serta lembaga tsb menerima kekuasaan dan berharap penyamarataan dalam pendistribusian kekuasaan.
Orang-orang yang berada dalam small power distance membutuhkan kesamaan kekuasaan, dan pembenaran untuk ketidaksejahteraan terhadap kekuasaan. Sedangkan orang-orang dalam large power distance menerima perintah hirarki, dan mereka telah berada dalam tempatnya masing-masing tanpa perlu adanya pembenaran.
 Contohnya, Indonesia merupakan negara yang menunjukkan jarak kekuasaan tinggi/large power distance. Terlihat jelas perbedaan secara budaya maupun politik antara penguasa dengan orang yang tidak punya kuasa. Austria merupakan negara small power distance, yang di dalamnya terlihat kesamaan kekuasaan antara penguasa dengan yang tidak punya kuasa.
Dalam masyarakat small power distance,  mereka mudah menerima tanggungjawab. Sementara pada masyarakat large power distance, maka orang lebih disiplin karena rasa takut akan kekuasaan.
2)      Uncertainty Avoidance (Penghindaran ketidakpastian)
Dimensi ini terkait dengan masyarakat yang merasa tidak nyaman untuk menghadapi masa depan yang tidak diketahui atau tidak ada kepastian dan keragu-raguan. Inti pada dimensi ini adalah bagaimana reaksi sebuah masyarakat terhadap fakta bahwa waktu hanya berjalan satu arah dan masa depan tidak diketahui serta apakah akan mencoba untuk mengontrol masa depan atau membiarkannya.
Orang-orang yang memiliki dimensi budaya high uncertainty avoidance cenderung lebih emosional. Mereka mencoba untuk meminimalkan terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa. Saat terjadi perubahan mereka menjalaninya dengan hati-hati, langkah demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan hukum serta peraturan yang berlaku.
Sedangkan low uncertainty avoidance menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa aturan dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung lebih pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
Indonesia bersama Kanada berada di urutan 41/42 dari 53 negara. Ini berarti Indonesia termasuk dalam low uncertainty avoidance yang tidak takut dengan perubahan dan lebih toleran terhadap perbedaan pendapat. Sedangkan Singapura adalah negara yang paling bisa menerima ketidakpastian
3)      Individualism vs Collectivism (Individualis vs Kolektivitas)
Individualis dan kolektivitas mengacu pada sejauh mana individu diintegrasikan ke dalam kelompok kelompok utama menyangkut ikatan di masyarakat.
Dalam masyarakat yang individualism, tekanan atau stres diletakkan dalam permasalahan pribadi, serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan untuk membela diri sendiri dan keluarga mereka. Sedangkan dalam masyarakat collectivism, individu bertindak terutama sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi tercipta di dalam kelompok mereka (kelompok di sini tidak mengacu kepada politik atau negara). Orang-orang memiliki keluarga besar, yang dijadikan sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak diragukan.
Indonesia berada di urutan 47 dari 53 negara, yang menunjukkan orang kita cenderung hidup secara berkelompok. Ini cocok dengan semboyan kita: gotong royong. Sebagai perbandingan negara yang paling individual adalah Amerika Serikat.
4)      Masculinity vs Feminimity (Maskulin vs feminim)
Dimensi ini terkait dengan pembagian dari peran emosi antara wanita dan laki-laki.
Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam masyarakat, atau distribusi peran emosional antara gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity) terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan. Dimensi feminin (feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap hubungan dan kualitas hidup.
Dalam dimensi maskulin, perbedaan antara peran gender nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel dibandingkan dengan dimensi feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama, menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
Penggunaan terminologi feminin dan maskulin yang mengacu terhadap perbedaan gender yang jelas tersirat melahirkan kontroversial. Sehingga beberapa peneliti yang menggunakan perspektif Hofstede (2011) mengganti terminologi tersebut, misalnya “Kuantitas Hidup” dengan “Kualitas Hidup”.
Indonesia bersama Afrika Barat ada di urutan 30 dan 31 dari 53 negara. Ini menunjukkan Indonesia dalam posisi sedang-sedang saja. Sebagai perbandingan yang paling maskulin adalah Jepang dan yang paling feminin adalah Swedia. Pantaslah Swedia adalah negara dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang paling kecil di dunia.
5)      Long Term vs Short Term Orientation (Orientasi jangka panjang vs Orientasi jangka pendek)
Hal ini terkait kepada pilihan dari fokus untuk usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu. Orientasi jangka panjang dan orientasi jangka pendek menggambarkan fokus dan nilai-nilai budaya yang menyangkut pola pikir masyarakat.
Masyarakat yang berorientasi jangka panjang (long term orientation) lebih mementingkan masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, status, sikap hemat, termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.
Masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term orientation), terkait dengan masa lalu dan sekarang, termasuk kestabilan, menghormati tradisi, menjaga selalu penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban - kewajiban sosial.
Kebanyakan negara-negara di Asia seperti Cina dan Jepang cenderung memiliki orientasi jangka panjang, sementara bangsa-bangsa barat cenderung pada jangka pendek. Dan negara yang sangat tertinggal juga cenderung memiliki orientasi jangka pendek. (Hofstede G., 2011)

B.     DEFINISI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya (Maletzke dalam Mulyana, 2005: xi). Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara mengkomuni-kasikannya (verbal dan nonverbal) dan kapan mengkomunikasikannya (Mulyana, 2005: xi).     
Menurut Crossman et al, istilah komunikasi lintas budaya (cross cultural communication) dan komunikasi antarbudaya (intercultural communication) adalah berbeda. Perbedaan komunikasi antarbudaya dengan komunikasi lintas budaya dikaitkan dengan apa yang terjadi ketika orang berbeda budaya berinteraksi dan mereka memodifikasi komunikasinya sebagai hasil dari interaksi komunikasi, sementara komunikasi lintas budaya focus pada aspek kesamaan dam berbedaan antarbudaya.
Rogers dan Steinfatt mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai pertukaran informasi antara individu yang berbeda secara budaya (Pearson et al., 2010: 168). Knapp mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi antar individu antara anggota kelompok yang berbeda satu sama lain dalam hal pengetahuan yang dimiliki oleh anggota mereka dengan menggunakan bentuk-bentuk linguistic dan perilaku simbolis (iri, 2009; 532). Ting-Tomey mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai sebuah proses pertukaran simbolik dari individu yang berlatar belakang budaya berbeda, dalam upaya menegosiasikan makna bersama dalam sebuah situasi komunikasi yang bersifat interaktif.
Pakar komunikasi lainnya menganggap istilah komunikasi lintas budaya bisa dipertukarkan dengan komunikasi antarbudaya, komunikasi multibudaya, komunikasi trans budaya (Doerr, 2004; 6).
Hall dan Hall menggunakan istilah cross-cultural communication dalam mendefinisikan interaksi dan proses komunikasi budaya “The essence of effective cross cultural communication has more to do with releasing the right response than with sending the right message.” Pada titik ini penulis lebih cenderung berpendapat komunikasi antarbudaya (intercultural communication) dapat dipertukarkan atau memiliki makna yang sama dengan komunikasi lintas budaya (cross cultural communication). (Priandono, 2016:58)

Prinsip Dasar Komunikasi Antarbudaya
            Komunikasi antarbudaya bersifat kompleks yang merupakan kombinasi dari aspek budaya, budaya mikro, lingkungan, persepsi dan konteks hubungan sosial antara dua orang yang melakukan proses mengirim dan menguraikan pesan verbal dan non-verbal. Karena sifatnya yang kompleks, komunikasi antarbudaya memiliki prinsip dasar (Neuliep, 2011; 32-37) sebagai berikut.
Prinsip ke-1, selama komunikasi antarbudaya, pesan yang dikirim biasanya bukanlah pesan yang diterima. Kapanpun orang dari budaya beda saling bertukar pesan, mereka membawa seluruh kerangka pemikiran, nilai, emosi, dan perilaku yang telah tertanam dan di budidayakan oleh budaya mereka. Komunikasi antar budaya merupakan aktivitas pemaknaan dimana pemikiran dan ide seseorang diterjemahkan ke dalam format pesan verbal dan non-verbal dan kemudian disampaikan melalui saluran komunikasi kepada orang lain yang harus menguraikan pesan tersebut.
            Pesan yang kita sampaikan dikodekan menggunakan cara pandang budaya kita, sebaliknya pesan yang diterima oleh orang dari budaya yang lain diuraikan menggunakan cara pandang budaya mereka sendiri. Contohnya, sikap diam seorang Jepang atau Jawa bermakna semakin bijak seseoran adalah orang yang tidak banyak bicara, tetapi sebaliknya makna diam bagi masyarakat Barat dinilai sebagai orang yang menyembunyikan sesuatu, tidak terbuka.
Prinsip ke-2, komunikasi antarbudaya pada intinya tindakan non-verbal atarpelaku komunikasi. Sejauh guru bahasa asing memercayai bahwa kompetensi bahasa asing merupakan kunci sukses dalam komunikasi lintasbudaya. Memang benar kemahiran berbahasa asing mempermudah kontak lintas budaya tetapi sebenarnya komunikasi lintas budaya lebih bersifat pada proses non-verbal dibandingkan pesan verbal. Ekspresi keintiman, kekuasaan, dan status antar pelaku komunikasi secara khas dibentuk melalui paralinguistic, isyarat, kedekatan, sentuhan, dan ofaltik.
Prinsip ke-3, komunikasi antarbudaya semsetinya melibatkan benturan gaya komunikasi. Di Amerika Serikat, berbicara merupakan nilai budaya yang penting. Orang dinilai dari cara mereka berbicara. Namun diam yaitu mengetahui kapan tidak berbicara adalah prasyarat mendasar untuk kompetensi bahasa dan budaya. Penggunaan dan pemaknaan diam bervariasi antar budaya. Dalam budaya yang kolektif (Jepang, Korea, India), diam lebih penting dibandingkan berbicara, khususnya dalam mempertahankan keintiman hubungan. Mereka memercayai ekspresi keintiman lebih baik menggunakan pesan non-verbal, dan mengungkapkan pikiran serta emosi melalui bahasa verbal akan mengurangi bahkan membuatnya dinilai rendah.
Prinsip ke-4, komunikasi antarbudaya merupakan fenomena kelompok atau komunitas yang dialami oleh individu. Ketika kita berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan budaya kita membawa asumsi dan kesan terhadap orang tersebut. Pesan verbal dan non-verbal biasanya disesuaikan dengan kesan dan asumsi. Seringkali, asumsi dan kesan tersebut didasarkan pada karakteristik keanggotaan orang tersebut didalam seuatu komunitas atau kelompok seperti budayanya, ras, jenis kelamin, umur, dan pekerjaan. Dengan kata lain, kita memiliki kecenderungan melihat orang lain tidak sebagai individu dengan keunikan pemikiran, ide, dan tujuan, tetapi melihat dari sudut pandang kelompoknya seperti “Asia”, “perempuan”,  “orang tua”, atau “supir taksi”. Artinya, kita melihat kelompok dimana orang tersebut menjadi bagiannya. Dalam proses komunikasi antarbudaya, kita membangun afiliasi kelompok menggunakan sejumlah alat seperti stereotip, etnosentrisme, rasisme. Kita akan cenderung menilai afiliasi kelompok kita lebih baik, dan sebaliknya, menilai lebih rendah afiliasi kelompok budaya lain.
Prinsip ke-5, komunikasi antarbudaya merupakan sebuah siklus yang melibatkan adaptasi dan tekanan, dimana ketika kita bersama orang lainyang berbeda budaya kita akan merasa cemas, khawatir, dan tidak pasti, sebuah perasaan yang membuat kita mengalami tekanan. Namun, dari kondisi tersebut kita akan dapat belajar dan beradaptasi mengurangi tekanan dan berusaha berkembang dengan mengenal dan menggali informasi pihak lain yang berbeda budayanya. Dalam konteks komunikasi antar budaya, strategi komunikasi dengan orang yang kita kenal mungkin tidak akan efektif digunakan ketika digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda budayanya. Sehingga kita harus belajar beradaptasi dengan gaya komunikasi kita. Kita harus menyadari kita akan berbuat kesalahan, belajar dari kesalahan tersebut, adaptasi, dan berkembang. Satu titik penting dalam komunikasi lintas budaya adalah menyadari bahwa orang dari latar belakang budaya berbeda pasti akan berbeda, bukan melalui kacamata baik atau buruk tapi bersifat berbeda. Ketika kita bisa menyadari kita akan mampu beradaptasi. Dengan menyadari adanya perbedaan kita bisa bersikap toleran terhadap keberadaan “yang lain”. (Priandono, 2016; 59-61)

C.    KOMUNIKASI ANTAR-BUDAYA 
Topic komunikasi antar budaya atau intercultural communication, karena ia terkadang diistilahkan komunikasi silang budaya atau cross cultural communication – telah semakin popular sebagai tema pembahasan dalam beberapa tahun terakhir, dan semakin banyak tulisan yang di dedikasikan untuk turut memberikan gambaran umum tentang teori dan penelitian dibidang ini. (Lustig&Koester, 2002)
Apakah sebenarnya komunikasi antarbudaya itu sendiri? Setiap kali kita berinteraksi dengan seseorang dari budaya lain, kita terlibat dalam situasi komunikasi dalam beberapa derajat akan selalu tergolong komunikasi antarbudaya. Dalam setiap situasi komunikasi, setaip orang membawa simbolnya sendiri, makna, pilihan dan pola yang mencerminkan banyak budaya dimana mereka pernah menjadi bagiannya selama masa hidup mereka.
            Saat kita bertemu orang baru, saat itu kita ada dalam proses negosiasi awal sebuah hubungan baru beserta budayanya. Sejak momen pertama dua individu melakukan kontak, mereka memulai proses komunikasi antarbudaya, saling mengeksplorasi, negosiasi, dan akomodasi. Dalam sejenak ketika kita mulai memerhatikan seeorang kita belum tahu apakah kita memiliki kesamaan tingkat pengetahuan, latar belakang, orientasi waktu, filsafat politik, pola gerak isyarat, bentuk salam, orientasi keagamaan, atau bahkan kemampuan bahasa yang sama. Dan kita tidak tahu apakah kita memiliki kesamaan pengalaman dalam hubungan, dalam kelompok atau organisasi sebelumnya.
            Begitu kita berinteraksi, kita menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidakpastian kita tentang situasi dan orang-orang yang terlibat (De Vito , 1994:442-443). Kita saling bicara dan mendengar satu sama lain. Kita mempelajari penampilan, pakaian, perhiasan, postur, dan cara berjalan. Secara bertahap kita mulai memperoleh informasi yang membantu kita untuk menentukan apa yang kita miliki bersama dan dimana kita berada. Sejalan dengan proses yang berlanjut, pangkalan informasi bersama kita terus tumbuh meluas yang memungkinkan kita menjadi bagian datinya.
Sementara prosesnya dapat tampak sedemikian sederhana, potensi dan komplesitas masalahnya bisa sangat berat. Ahli komunikasi Joseph De Vito menawarkan panduan berikut untuk menghindari hambatan dalam komunikasi antarbudaya (Karl Deutsch, 1966):
1.      Kenalilah perbedaan buaya anda dan budaya orang lain. Jika anda ragu, bertanyalah; buanglah asumsi kesamaan. Tetapi, pada saat yang sama, sadari dan carilah nilai-nilai kesamaan, kemudian gunakanlah kesamaan itu dalam kontak.
2.      Mengakui bahwa perbedaan itu ada dalam setiap kelompok. Hindari stereotip, jangan terlalu menyamaratakan, atau beranggapan bahwa perbedaan dalam suatu kelompok tidak penting.
3.      Ingatlah bahwa maknaada pada diri seseorang dan bukan tempat dalam kata kata atau dalam gerak isyarat yang digunakan. Periksalah makna anda dengan makna yang dimiliki oleh orang lain. Pastikan bahwa setiap asumsi kesamaan atau perbedaan tentang makna memang benar adanya.
4.      Waspada terhadap aturan-aturan budaya yang berlaku dalam setiap konteks komunikasi antarbudaya. Berlakulah sensitive terhadap aturan-aturan yang dianut oleh orang lain. Berusahalah menghindari asumsi bahwa yang benar dan logis hanyalah aturan anda. Kalau ragu-ragu, bertanyalah.
5.      Hindari evaluasi negative terhadap perbedaan budaya baik secara verbal maupun non-verbal. Lihatlah kebiasaan dan peraturan budaya sebagai sesuatu yang arbitrer dan menyenangkan, dan bukan sesuatu yang alamiah dan masuk akal.
6.      Jaga diri dari kejutan budaya dengan mempelajari sebanyak mungkin budaya yang akan anda masuki. Misalnya, dengan membaca, berbicara dengan orang dari budaya itu dengan mereka yang memiliki pengalaman dengan budaya itu, dan menonton film.
Contoh kasus komunikasi antarbudaya yakni kasus kasus etnik Madura dan etnik Dayak (Iskandar, 2004; 131-132). Orang-orang Madura yang datang dari tanah asalnya (Pulau Madura), lalu menetap di Kalimantan Barat tentunya bukanlah untuk bersenang-senang. Sejak awal kedatangannya (sekitar pergantian abad ke-19), mereka dipekerjakan sebagai kuli kontrak untuk membuka hutan dan perkebunan; sementara kebanyakan orang Dayak Kalimantan Barat adalah peladang berpindah. Sejak tahun 1970-an, banyak orang Madura yang datang. Mereka bekerja sebagai tukang becak, buruh pertambangan/pelabuhan/harian, pedagang kaki lima, bertani, dan wanitanya berjualan sayuran. Di dalam masyarakat yang sangat keras, dipicu kekerasan, orang Madura yang keras dapat juga berpenghasilan lebih baik, hingga ada pula yang mampu menunaikan ibadah haji. Sementara orang Dayak beragama Kristen dan tetap menjunjung tradisi.
Di samping berwatak keras, orang Madura dikenal bersifat kasar dan susah dipercaya. Dalam pandangan orang Dayak, tradisi dan sifat orang Madura adalah suka membawa senjata tajam, membunuh, memperkosa, merampok, mencuri, dan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Orang Madura segera memakai clurit/pisau dalam perkelahian (tradisi carok); sementara orang Dayak melaksanakan tradisi "mangkok merah" (pengumuman perang) jika ada anggota klannya yang terluka dalam suatu perkelahian. Bagi orang Madura, menyerang dari belakang terhadap musuh yang tak bersenjata pun tidak menjadi masalah, selama motifnya terhormat.
Demikianlah etnosentrisme yang menunjukkan kecenderungan untuk menafsir atau menilai semua kelompok lain, lingkungan mereka, dan komunikasi mereka menurut kategori-kategori dan nilai-nilai budaya sendiri (Samovar, Porter & Jain: 1981). Bagi etnis Dayak yang terbaik bagi orang Madura adalah tidak hidup menyendiri atau terpisah dari komunitas Dayak. Kecenderungan etnis Madura seperti itu dinilai sebagai ketidakmampuan dan keengganan orang Madura untuk berintegrasi atau menghormati kehidupan sosial orang Dayak. Episode berikut menunjukkan bagaimana orang Madura membuat orang Dayak memukulnya.

HUBUNGAN ANTARA KOMUNITAS DAN BUDAYA.
Mari kita periksa konsep budaya beserta hubungannya dengan komunikasi secara lebih rinci: Pertama, adalah sangat membantu untuk mengingatkan kita sendiri bahwa semua sistem sosial-hubungan, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat berkembang dan memelihara budaya (Lee Thayer, 1908;47).
Proses yang sama muncul dalam sekelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang terlibat lebih besar. Saat jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan kenyataan yang dibagi pun berkembang. Dalam setiap kejadian ini, sebagaimana kita telah mengerti, kata-kata khusus, atau frasa-frasa tertentu, pendekatan kepemimpinan, norma perilaku, atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai hasil dari komunikasi dan adaptasi mutualistik diantara para anggota.
Didalam masyarakat, seperti didalam sistem sosial lainnya komunikasi adalah sarana melalui mana individu-individu menciptakakan, berbagi dan melanggengkan budaya. Pola komunikasi verbal dan nonverbal yang sama, orientasi keagamaan, politik, gender, perkawinan, membesarkan anak, suku, dan sisi kehidupan sosial lainnya adalah juga menjadi bagian dari budaya di setiap masyarakat.
Budaya yang terdapat pada hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat, melayani, fungsi yang sama terkait komunikasi:
·         Menghubungkan individu satu sama lain
·         Menciptakan konteks untuk interaksi dan negosiasi antaranggota
·         Memberikan dasar bagi identitas bersama.
Sebagaimana ditampakkan oleh ketiga aspek diatas, hubungan antara budaya komunikasi adalah kompleks. Budaya adalah hasil-tambahan dari kegiatan-kegiatan komunikasi yang berlangsung didalam hubungan, kelompok organisasi, dan masyarakat. Tentunya, jika tidak karena kapasitas bahasa simbolis manusia kita tidak akan bisa mengembangkan sebuah budaya bersama. Dan, tanpa komunikasi besertaa teknologinya, menjadi tidak mungkin untuk menyampaikan unsur-unsur budaya dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya, pada waktu bersamaan, pilihan, pola, dan perilaku komunikasi perseorangan kita berkembang saat kita beradaptasi kepada tuntutan budaya dan peluang yang kita jumpai di sepanjang perjalanan hidup kita.
Sejauh kita bisa nyatakan secara akurat bahwa budaya didefinisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari melalui komunikasi, sejauh itu pulalah yang dapat kita katakan secara akurat mengenai hal yang sebaliknya. Hasilnya, kemudian, adalah saling memengaruhi secara resiprokal, atau pendefinisian secara timbal balik, antara budaya dan komunikasi manusia. Melalui komunikasi kita membentuk budaya kita, dan pada gilirannya, budaya membentuk pola-pola komunikasi kita.

D.    FAKTOR PENDORONG KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Dewasa ini kajian komunikasi antarbudaya semakin menempati peran penting dalam komunikasi manusia, baik dalam konteks komunkasi interpersonal seperti pernikahan antarbudaya, keluarga, komunikasi organisasi, maupun komunikasi publik seperti kampanye politik, komunikasi kesehatan.
            Komunikasi antarbudaya semakin menempati peran yang sangat penting di masa kini karena terkait dengan sejumlah faktor pendorong. Menurut Samovar et al. (2010: 2), terdapat sejumlah faktor yang membuat kajian komunikasi antarbudaya semakin penting, antara lain: 1) globalisasi, 2) konflik inernasional dan masalah keamanan, 3) kompetisi terhadap sumber daya alam, 4) masalah lingkungan hidup, 5) masalah isu
1.      Globalisai dan Komunikasi Antarbudaya
tidak ada negara di dunia saat ini yang mampu melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, bhakan negara deengan siistem sosial politik tertutup seklaipun seperti Korea Utara. Fenomena globalisasi dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya saat ini menjadi suatu keniscayaan yang harus dihadapi setiap negara. Noris dan Inglehart (2009: 6) mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah proses perluasan jaringan yang menciptakan saling ketergantungan mencakup baatas-batas negara yang kemudian diikuti terjadinya peningkatan arus ide, modal, barang, layanan, ekologi, dan orang melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Globalisasi disini dipahami bersifat multi dimensi,  yang meliputi aspek ekonomi, aspek sosial, dan dimensi politik seperti penyatuan kerja sama organisasi baik dalam kawasan regional aupun internasional.
2.      Konflik Internasional dan Masalah Keamanan
Neuliep (2011: 2) menyimpulkan bahwa hanya dengan kemampuan komunikasi antar budaya-lah sejumlah konflik sosial tersebut dapat dikurangi, dan hanya dengan kompetensi antarbudaya serta membangun hubungan sosial secara damai dengan orang lain yang berbeda budaya. Pada titik inilah, dengan bellajar dimensi-dimensi budaya dan pengaruhnya pada perilaku komunikasi manusia menjadi sangat penting.
3.      Kompetisi Terkait Kelangkaan Sumber Daya Alam
Kompetensi komunikasi antarbudaya yang memadai dibutuhkan untuk melakukan proses lobi dan negosiasi di negara-negara yang memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda. Tanpa memahami nilai budaya setempat, proses lobi dan negosiasi akan menemui jalan buntu. Pada titik inilah,birokrat pemerintah maupun pengusaha swasta harus membekali dirinya dengan kompetensi budaya.
4.      Tantangan Isu Lingkungan
Setiap komunitas budaya selalu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap alam sekitarnya. memahami cara pandang budaya terhadap lingkungan merupakan kajian ekologi budaya. Thomas menyatakan ekologi budaya menggambarkan perubahan hubungan antarbudaya dan lingkungan atau jaringan keseluruhan dari kehidupan manusia melalui adaptasi lingkungan. Ekologi budaya sebagai sebuah wacana, dapat digunakan untuk apresiasi dialektis dan gerakan bahwa penelitian antar budaya modern yang bertujuan untuk memahami bagaimana budaya berinteraksi dengan lingkungan berkaitan dengan bagaimana masyarakat menghadapi dan memecahkan masalah umum eksistensi manusia.
5.      Isu Kesehatan dan Komunikasi Antarbudaya
Identitas budaya tidak selalu menentukan status kesehataan masyarakat secara langsung, tetapi dapat memengaruhi keputusan mereka tentang terlibat dalam perilaku yang  memengaruhi status kesehatan mereka, karena identitas budaya membentuk pemahaman masyarakat terhadap dunia fisik dan sosial dan peran mereka didalamnya, identitas budaya juga membentuk keyakinan masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, termasuk kriteria untuk pelabelan diri sebagai sehat atau sakit, tindakan yang diambil untuk menghindari penyakit, keputusan untuk mencari deteksi dini penyakit.

E.     MANFAAT BELAJAR KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Hiebert, seorang antropolog, menyatakan bahwa kondisi komunikasi normal dalam konteks sebuah budaya yang memiliki latar belakang yang sama, orang hanya mmahami 70 persen dari pesan yang disampaikan. Sedangkan dalam situasi komunikasi antarbudaya tingkat pemahaman pesan komunikasi mungkin tidak akan melebihi dari 50 persen.
            Proses memahami dan bagaimana dipahami cenderung lebih rumit dalam situasi komunikasi antarbudaya luas daripada situasi komunikasi antarbudaya yang terbatas. Aspek pikiran, rasa, dan medium merupakan hasil dari sebuah budaya tertentu. Perbedaan budaya menampilkan hambatan yang lebih besar dibandingkan komunikasi dalam konteks komunikasi yang berbeda.
            Manfaat belajar komunikasi atar budaya sangatlah tidak ternilai. Manfaat tersebut terentang dari aspek psikologi, budaya, sosial, maupun ekonomis. Meskipun tantangan dunia yang semakin beragam besar, namun manfaat yang didapatkan dari komunikasi antarbudaya jauh lebih besar. Berkomunikasi dan membangun hubungan dengan orang-orang dari budaya yang berbeda dapat memberikan sejumlah manfaat, yang meliputi:
Pertama, komunikasi antar budaya menciptakan masyarakat yang lebih sehat. Komunitas masyarakat yang sehat diciptakan dari individu-individu yang bekerja sama untuk manfaat semuanya, tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan pendekatan komunikasi antarbudaya yang terbuka dan jujur, masyarakat dapat bekerja sama meraih tujuan yang bermanfaat untuk semua, tanpa memerhatikan orientasi budaya atau kelompoknya.
            Kedua, komunikasi antarbudaya meningkatkan manfaat ekonomi baik yang bersifat loka, nasional, dan maupun internasional. Kemampuan kita berinteraksi dengan orang berlatarbelakang budaya berbeda baik di dalam maupun di luar negara memiliki dampak ekonomi, seperti bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji tinggi, kedatangan wisatawan meningkatkan perekonomian, investasi perusahaan multinasional. Hanya melalui komunikasi antarbudaya yang sukses, potensi bisnis dapat diwujudkan.
            Ketiga,  komunikasi antarbudaya mengurangi konflik, konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, dan kita tidak akan pernah bisa dihindarkan, dan kita tidak akan pernah bisa menghilangkannya. Meskipun begitu, melalui komunikasi antarbudaya kita dapat mengurangi dan mengelola konflik. Seringkali konflik dimaknai sebagai ketidakmampuan kita melihat sudut pandang orang lain, khususnya dari budaya yang berbeda. Kita mengembangkan kesimpulan yang bersifat umum tentang mereka (yang sering kali tidak benar) dan tidak memercayai mereka. Perasaan seperti itu menyebabkan perilaku defensif, yang meningkatkan konflik. Jika kita bisa belajar untuk berpikir dan bertindak secara kooperatif atau tidak agresif dan komunikasi antarbudaya responsif, kita bisa secara efektif mengelola dan mengurangi konflik dengan orang lain.
            Keempat, komunikasi antarbuadaya menciptakan pribadi matang melalui peningkatan toleransi. Ketika seorang individu berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya, individu tersebut belajar lebih mendalam tentang pandangan hidupnya, termasuk didalamnya mengenai nilai kultural, sejarah, perilaku, dan substansikepribadian mereka. Ketika hubungan berkembang, kita akan mulai memahami mereka lebih baik mungkin berempati dengan mereka. Satu hal yang akan Anda pelajari adalah meskipun budaya Anda berbeda, Anda sebenarnya memiliki banyak kesamaan, tiap manusia memilikikeinginan dan kebutuhan dasar yang sama, kita hanya memiliki perbedaan bagaimana cara meraihnya.
            Perbedaan berbeda dikemukakan oleh Hybels dan Weaver yang mengkalsifikasi manfaat belajar komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
            Pertama, komunikasi antarbudaya dapat bermanfaat untuk membantu memahami identitas kita. Keputusan kita tentang nilai budaya yang akan dianut atau dipertahankan, gaya hidup, orientasi atau bahkan teman yang ingin Anda miliki sangatlah dipengaruhi oleh faktor rasial, budaya, gender, dan kelas sosial yang memengaruhi identitas diri kita. Menurut Samovar, komunikasi berperan sangat penting menentukan dalam mendefinisiskan identitas kita, hubungan kita dengan orang lain membantu kita memahami siapa diri kita, dimana Anda berada, dan kemana kesetiaan Anda harus diberikan.
            Kedua, komunikasi antarbudaya membantu meningkatkan kemampuan interaksi personal dan sosial. Semakin luas sudut pandang kita, kita semakin toleran dan mampu mengakomodasi. Kesempatanmemiliki hubungan akrab antaa diri kita dengan orang yang berbeda. Apakah itu dari segi umur, kemampuan fisik, gender, etnis, kelas soial, agama, ras, dan kebangsaan akan meningkatkan kemampuan kita. Hubungan yang mampu membantu kita belajar tentang dunia kita, menghilangkan stereotip, dan mendapatkan kemampaun baru.
            Ketiga, komunikasi antarbudaya mampu menyelesaikan kesalahpahaman. Belajar tentang komunikasi antarbudaya tidak hanya membuka kebuntuan komunikasi dari generasi ke generasi, tetapij juga menyelesaikan kesalahpahaman, ketidaksalingpercayaan melalui proses komunikasi yang jujur, terbuka, positif, dan sehat. Orang tidak hanya takut tetapi tidak percaya kepada orang yang kita ketahui. Kepercayaan dalam hubungan sosial diraih dari pengetahuan dan pemahaman.
            Keempat, komunikasi antarbudaya meningkatkan dan memperkaya kualitas peradaban manusia. Mengenal dan menghargai budaya sangatlah penting dan menjadi langkah penting dalam menciptakan kualitas peradaban kita. Kemampuan komunikasi antarbudaya bisa mencegah konflik di masa yang akan datang baik di tingkat internasional maupn di dalam negeri.
Kelima, komunikasi antarbudaya meningkatkan kemampuan kita menjadi warga negara dalam konteks komunitas nasional. Kesimpulannya, manfaat utama dari komunikasi antarbudaya adalah meningkatkan pemahaman fenomena komunikasi yang dimediasi secara budaya. Komunikasi budaya tidak hanya diperlukan, tetepi sebuah syarat keberhasilahn dalam masyarakat yang bersifat pluralistic (Ruben & Stewart, 2014)











PENUTUP

Dimensi budaya menurut Hofstede adalah: Perbandingan budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan, setiap budaya sebenarnya tidak begitu unik, setiap budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu berarti. Rogers dan Steinfatt mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai pertukaran informasi antara individu yang berbeda secara budaya (Pearson et al., 2010: 168).
Hubungan budaya terkait dengan komunikasi antara lain menghubungkan individu satu sama lain, menciptakan konteks untuk interaksi dan negosiasi antaranggota, dan memberikan dasar bagi identitas bersama.
faktor pendorong komunikasi antarbudaya semakin penting, antara lain: 1) globalisasi, 2) konflik inernasional dan masalah keamanan, 3) kompetisi terhadap sumber daya alam, 4) masalah lingkungan hidup, 5) masalah isu

dan terdapat berbagai macam manfaat dari mempelajari komunikasi antarbudaya itu sendiri, seperti yang telah kami paparkan dalam makalah kami di atas. Demikianlah makalah telah kami susun. Semoga dapat bermanfaat. Kurang lebihnya mohon maaf. Terimakasih.

Download file di sini

0 komentar:

Posting Komentar

Populer

[PSI B] SENSASI DAN PERSEPSI

BAB I                                                            PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia pada hakekatnya adal...