BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang
Behaviorisme
adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada
tahun 1913. Sama halnya dengan psikoanalisa behaviorisme juga merupakan aliran
yang revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup
dalam. Sejumlah filsuf dan ilmuan sebelum Watson dalam satu dan lain bentuk
telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari
manusia berdasarkan pandangan yang mekanistis dan materialistis, suatu
pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang diantaranya
adalah Ivan Pavlov (1849-1936).[1]
Aliran Behavioris
didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Oleh karena itu,
aliran ini berusaha mencoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan
berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Dalam aliran ini tingkah laku
dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan respon. Stimulus dapat berupa
perlakuan yang diberikan pada siswa, sedangkan respon berupa perubahan tingkah
laku yang terjadi pada siswa. Adapun yang terjadi antara stimulus dan respon
itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak dapat diamati, factor lain
yang penting yaitu penguatan (reinforcement), yaitu penguatan yabf dapat
memperkuat respon.[2]
1.2
RumusanMasalah
1.
Bagaimana pendekatan
behavioristik dalam pembelajaran?
2. Bagaimana penerapan pendekatan behavioristik dalam pembelajaran?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan
Behavioristik Dalam Pembelajaran
Teori belajar behavioristik adalah
sebuah teori yang mempelajari tingkah laku manusia. Menurut Desmita (2009:44)
teori belajar behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah laku
manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik,
sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui
upaya pengkondisian. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang
seharusnya dilakukan melalui pengujian
dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan
bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respons (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar apabila dapat
menunjukkan perubahan prilaku sebgai hasil belajar.[3]
Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa
perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan
proses mental. Menurut kaum behavioris, perilaku adalah segala sesuatu yang
kita lakukan dan bias dilihat secara langsung: anak membuat poster, guru
tersenyum pada anak, murid menganggu murid lain, dsb. Proses mental
didefinisikan oleh psikolog sebagai pikiran perasaan, dan motif yang kita alami
namun tidak bias dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak bisa melihat
semua itu adalah nyata, seperti pemikiran anak tentang cara membuat poster,
perasaan guru terhadap muridnya.[4] Pandangan Behaviorisme
yaitu:
A.
Pengkondisian Klasik
Pengkondisian
klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan
atau mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondsisan klasik, stimulus netral
(seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna
(seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang
sama. Untuk memahami teori pengkondisian klasik Pavlov(1927) kita harus
memahami dua tipe stimuli dan dua tipe respon;
·
unconditioned
stimulus(US) adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon
tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu, dalam eksperimen Pavlov adalah makanan,
·
unconditioned response
(UR) adalah respon yang tidak dipelajari yang secara otomatis dihasilkan oleh
US, dalam eksperimen Pavlov adalah air liur anjing yang merespon makanan,
·
conditioned stimulus(CS)
adalah stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned
response setelah diasosiasikan dengan US, diantara stimuli yang terkondisikan
dalam eksperimen Pavlov adalah beberapa penglihatan dan suara yang terjadi
sebelum anjing menyantap makanan, seperti suara pintu tertutup sebelum makanan
ditempatkan dipiring anjing
·
conditioned respose
(CR), adalah reson yang dipelajari, yakni respon terhadap stimulus yang
terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.
Jika kita kaitkan dengan
proses pembelajaran, dapat dianalogkan bahwa jika guru berharap siswa dapat
menghapalkan materi berupa ayat pada surat Al- Waqi`ah (di mana siswa harus
hapal semua ayat), dan ternyata siswa ini dapat menghapalkannya. Kemudian dalam
kondisi seperti ini anak tidak
mendapatkan nilai akhir (raport) yang lebih baik (dibanding dengan kawan yang
lain), maka jika kelak suatu ketika ia diminta untuk menghapalkan lagi dia tak
akan berusaha menghapalkannya (karena ia tahu hapal pun besok tidak akan
mendapat nilai yang baik). Dalam segmen bagian akhir dari contoh di atas, anak
diminta menghapalkan suatu ayat dan kepadanya disediakan pula sejumlah hadiah
(misalnya gratis SPP) setiap saat, maka anak itu dengan sendirinya akan terus
berusaha untuk dapat menghapalkan ayat dimaksud (karena ia tahu hal ini akan
membawa hasil, yaitu mendapatkan hadiah).
B.
Koneksionisme Thorndike
(Thorndike’s Connectionism)
Pandangan Edwar Lee Thorndike ( 1874-1949) mengenai pembelajaran yakni bahwa semua pembelajaran dijelaskan melalui hubungan atau ikatan yang dibentuk antara stimulus dan respon.
Hubungan-hubungan ini muncul lebih utama
melalui trial dan error ( coba dan
gagal), yaitu suatu proses yang disebut
oleh Thorndike sebagai koneksionisme
atau belajar melalui seleksi dan hubungan. Thorndike merumuskan hukum belajar
yang tidak fleksibel, melainkan aturan-aturan agar belajar nampak dipatuhi.
Dia mengutarakan tiga hukum belajar
utama yaitu:
1). Hukum kesiapsiagaaan
( law of readiness). Makhluk hidup ( manusia dan hewan ) memiliki kesiapan untuk membentuk hubungan-hubungan, jika
makhluk hidup melakukanya akan mendapatkan kepuasaan dan jika tidak
melakukannya akan merasa kecewa. kesiapsiagaan seperti seorang petugas pengintai yang mengirim sinyal ke stasiun
yang menjadi tujuan kereta untuk membuka palang pintu perlintasan. Sekolah
tidak dapat memaksa siswa untuk belajar
jika mereka tidak siap secara fisik dan psikologis. Mereka dapat belajar jika
mereka sudah merasa siap.
2) Hukum latihan ( Law
of exercise) Hukum ini menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon itu akan kuat
apabila suatu kegiatan sering dilakukan atau semakin sering suatu perbuatan
dilakukan maka semakin kuat hubungan antara stimulus dan respon, sebaliknya
hubungan antara stimulus dan respon akan lemah apabila intensitas suatu
perbuatan menurun. Hukum ini mendapat kritikan dari banyak orang bahwa hukum latihan semata tidak cukup untuk
melakukan perbaikan, mesti juga ada kesadaran dari pelaku akibat yang dapat
ditimbulkan dari suatu perbuatan.
3) Hukum Pengaruh (Law
of effect ). Hukum ini merupakan hukum
yang paling penting. Hukum effek menyatakan bahwa respon yang dibarengi oleh
kepuasan akan terjadi hubungan yang lebih kuat antara stimulus dan respon, jika respon dibarengi oleh perasaan tidak
menyenangkan maka hubungan antara
stimulus dan respon akan melemah. Semakin tinggi tingkat kepuasan maka semakin
kuat hubungan antara stimulus dan respon jika semakin besar perasaan yang tidak
menyenangkan yang ditimbulkan maka semakin lemah pula hubungan antara stimulus
dan respon.
C.
Pengkondisian Operan
Pengkondisian operan/
instrumental adalah sebentuk pembelajaran di mana kosekuensi-konsekuensi dari
perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Arsitek utama dari Pengkondisian operan adalah B.F Skinner, yang pandangannya
didasarkan pada Pandangan E.L. Thorndike.
Pengkondisian
operan skinner, di mana konsekuensi perilaku akan menyebabkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan terjadi, penguatan(imbalan) meningkatkan
probabilitas sebaliknya, hukuman menurunkan probabilitas terjadinya perilaku.
·
Penguat positive (
positive reinforce) stimulus yang kehadiranya memperkuat prilaku
·
Penguat negative (
negative reinforce) stimulus yang dengan ketiadaannya menguatkan prilaku
·
Hukuman, peristiwa yang
mengakibatkan berkurangnya frekuensi prilaku[5]
Penguat bisa positif dan negative, yang
dapat meningkatkan perilaku, dalam hukuman perilakunya berkurang
2.3 Penerapan
Pendekatan Behavioristik Dalam Pembelajaran
Aliran psikologi yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan teori
dan praktek pendidikan serta pembelajaran hingga kini adalah
behavioristik. Aliaran ini menekankan pada pembentukan perilaku yang tampak
asebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Istilah-istilah seperti
hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil
belajar yang tampak, pembentukan perilaku (Shaping) dengan penataan kondisi
secara ketat, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori
behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di
ndonesia. Hal ini tampsk dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari
tingkat paling dini, sepertikelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar,
sekolah menengah, bahkan sampai diperguruan tinggi, pembentukan prilaku dengan
cara drill (pembiasaan) reinforcement
atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik
dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapahal seperti; tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia,. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyeknya,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan kepada seorang yang belajar atau siswa. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami murid.
Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk meniru struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir
yang dapat dianalisis dan dipili , sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristtik struktur pengetahuan
tersebut.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada didunia nyata telah
terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau seorang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat sensial dengan belajar sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan kedisplinan. Demikian juga, ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta
didik adalah objek yang harus diperlakukan sesuai dengan aturan, sehingga
control belajar harus dipegang oleh system yangberada diluardiri siswa.
Tujuan pembelajaran
menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan
belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secaraketat, sehingga aktivitas belajar
lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajin tersebut.
pembelajaran
Evaluasi menekankan pada
respon positif, ketrampilan secaraterpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya.Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa
secara individual.
Secara umum
langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang
dikemukakan oleh Siciati dan Prasetyo Irawan (2001) dapat digunakan dalam
merancang pembelajarn. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.
Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran.
2.
Menganalisis lingkungan
kelas yang ada saat ini termasuk
mengidentifikasikan pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
3.
Menentukan materi
pelajaran
4.
Memecahkan materi
pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok
bahasan, topik, dsd.
5.
Menyajikan materi
pelajaran
6.
Memberikan stimulus,
dapat berupa: pertanyaan baiksecara lisan maupun tulisan, tes/kuis , latihan,
atau tugas-tugas.
7.
Mengamati dan mengkaji
respons yang diberikan siswa
8.
Memberikan penguatan/reinforcement
(mungkin penguatan positif ataupun penguatan negative), ataupun hukuman.
9.
Memberikan stimulus baru
10. Mengamati dan mengkaji respons yang
diberikan siswa.
11. Memberikan penguatan lanjutan atau
hukuman.
12. Evaluasi hasil belajar.[6]
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran
yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi
belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri pebelajar.
BAB
III
PENUTUP
3.3 KESIMPULAN
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku manusia.
Menurut Desmita (2009:44), Pandangan Behaviorisme yaitu:
·
Pengkondisian klasik
adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau
mengasosiasikan stimuli.
·
Koneksionisme Thorndike,
pembelajaran yakni bahwa semua
pembelajaran dijelaskan melalui hubungan
atau ikatan yang dibentuk antara
stimulus dan respon.
·
Pengkondisian operan/
instrumental adalah sebentuk pembelajaran di mana kosekuensi-konsekuensi dari
perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi
Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
3.4 KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah mengenai Teori Behavioristik
dan Penerapannya dalam Pembelajaran, ini pemakalah paparkan. Pemakalah menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya, pemakalah
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini
memeberikan manfaat bagi pembaca dan juga pemakalah khususnya.
Budiningsih, C. Asri. 2005, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Jamridafrizal, “Teori Belajar
Behaviorisme Dan Implikasinya Dalam Praktek Pendidikan”.
Nahar ,
Novi Irwan, 2016 “Penerapan Teori Belajar
Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran”. Kabupaten Agam Sumatera Barat. Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan
Sosial ). Volume 1, hlm 65-66.
Santrock, John W. 2013, Psikologi pendidikan, Jakarta: Kencana,
Uno, Hamzah B. 2010,
Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
[1]
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam
Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm 19.
[2]
Sukarjo dan Ukim Komarudin, Landasan
Pendidikan konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), hlm34.
[3]
Novi Irwan Nahar, “Penerapan Teori
Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran”. Nusantara ( Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial ). Volume 1, Desember 2016, hlm 65-66.
[4]
John W. Santrock, Psikologi pendidikan,
(Jakarta: Kencana, 2013) hlm 266.
[5]
Jamridafrizal, “Teori Belajar
Behaviorisme Dan Implikasinya Dalam Praktek Pendidikan”. hlm 19.
0 komentar:
Posting Komentar