TEORI
HUMANISTIK DAN MOTIVASI BELAJAR UNTUK MEMBANGUN INTERAKSI GURU-SISWA YANG
HUMANIS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas : Psikologi Pendidikan
Dosen pengampu : Nikmah Rochmawati, S.psi, M.si
Disusun Oleh :
Rise Esa Syahfiar (1607016001)
Kholid Aditya Ihza N (1607016017)
Sri Luluk Setiyowati (1607016035)
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an
sebagai reaksi
ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan
relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang
pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya
kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang
manusia.Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistic keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic. Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan
relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang
pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya
kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang
manusia.Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistic keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic. Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
B.
RumusanMasalah
1.
Apa pengertian dari teori Belajar Humanistik?
2.
Bagaimana pandangan tokoh-tokoh mengenai pembelajaran
Humanistik?
3.
Bagaimana pengertian motivasi belajar menurut aliran
Humanistik?
4.
Bagaimana cara menerapkan teori Humanistik dan
motivasi belajar dalam kegiatan pembelajaran agar dapat membangun interaksi
guru-siswa yang humanis?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori
Belajar Humanistik
Teori belajar yang
humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan
manusia. Psikologi Humanistik adalah kritik terhadap behavioristik yang
memandang manusia sebagai mesin. Humanistik merubah paradigma tersebut menjadi
lebih manusiawi dan dihargai sebagai suatu kesatuan yang utuh.[1]Aliran
psikologi ini menekankan pada lima titik perhatian yaitu: perasaan (emosi pribadi dan apresiasi estetik), hubungan sosial (menganjurkan pada
persahabatan dan kerjasama, bertanggung jawab) intelek (mempunyai pengetahuan, pemikiran, dan pemahaman, berjuang
keras melawan apapun yang mengganggu latihan pikir), aktualisasi diri(penyelidikan bagi realisasi penuh dari kualitas
diri seseorang yang paling dalam). Dalam
proses pembelajaran si pembelajar sudah seharusnya berusaha mencapai aktualisasi.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka.[2]
Menurut aliran humanistik,
para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan
pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan. Pendekatan humanistik dalam
pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Yakni pendekan yang berfokus
pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan potensi yang mereka miliki kemudian dikembangkan. Dalam teori
belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika pembelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Teori ini berusaha memahami perikalu belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
B.
Tokoh-tokoh teori belajar
humanistik
1) Arthur W. Combs
Beranggapan bahwa belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.
Dikarenakan makna adalah konsep dasar yang sering digunakan. Yaitu guru tidak
dapat memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan
mereka.
Dengan
demikian guru harus memahami perilaku siswa dengan memahami persepsi siswa tersebut. Apabila ingin merubah
perilaku siswa, guru harus merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Hal
yang penting ialah bagaimana membawa persepsi siswa untuk memperoleh makna
belajar bagi pribadinya dan materi pembelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari.
Hal-hal
yang mempunyai sedikit hubungan dengan dengan diri, akan makin mudah hal itu
terlupakan oleh siswa.
2) Abraham Maslow
Maslow mengungkapkan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat
hirarkis. Yang didasarkan pada 2 asumsi, yaitu:
·
Suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan
·
Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan
itu.
Maslow
membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki.
Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian
dan motivasi belajar ini mungkin berkembang jika kebutuhan dasar siswa belum
terpenuhi. Aliran humanistik
biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga
hubungan yang hangat dengan orang lain. [3]
Para pendidik yang beraliran humanistik
juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk
meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman,
berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendekatan ini mengedepankan pentingnya
emosi dalam dunia pendidikan.
Hierarki kebutuhan motivasi Maslow
menggambarkan motivasi manusiayang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali,
aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan dalam tingkat yang lebih rendah,
seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
3) Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif(kebermaknan) dan
experiental(pengalaman atau signifikasi). Guru menghubungkan pengetahuan
akademik ke dalam pengetahuan pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin
dengan tujuan memperbaiki mobil.
Kualitas belajar experiential
mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi
oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam
proses pembelajaran adalah pentingnya
guru yang memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran yaitu :
·
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang
wajar untuk belajar, tetapi siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
·
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi
dirinya.
·
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti
mengorganisasikan bahan/ ide baru
sebagai bahan yang bermakna bagi siswa.
C.
Pengertian Motivasi Belajar
menurut pandangan Humanistik
Sebagai tokoh utama aliran Humanisme Abraham Maslow mendefinisikan motivasi
sebagai sesuatu yang bersifat konstan (tetap), tidak pernah berakhir, dan
bersifat kompleks, dan hal demikian kebanyakan merupakan karakteristik
universal pada setiap kegiatan organisme. Motivasi pada dasarnya adalah suatu
usaha untuk meningkatkan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan tertentu,
termasuk didalamnnya kegiatan belajar.[4]
Seringkali kata ‘motif’ dan ‘motivasi’ digunakan secara
bergantian dalam suatu maksud. Pengertian antara keduanya memang sukar
dibedakan secara tegas. Istilah ‘motif’ menunjukkan suatu dorongan yang timbul
dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau melakukan
sesuatu. Sedangkan ‘motivasi’ adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak
sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.8
D. Teori Motivasi dalam Prespektif Humanisme
Dalam teorinya tentang motivasi, Maslow sebagai tokoh
utama humanistik mengemukakan ada lima tingkatan kebutuhan pokok manusia.
Diantaranya yaitu:
1)
Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
Kebutuhan fisiologis (physiological needs) adalah sekumpulan
kebutuhan dasar yang mendesak pemenuhannya karena berkaitan langsung dengan
kelangsungan hidup manusia. Misalnya : makanan,
minuman, air, oksigen, istirahat, tempat berteduh, keseimbangan temperatur,
seks dll. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau belum terpuaskan, maka
individu tidak akan tergerak untuk memuaskan kebutuhan- kebutuhan lain yang
lebih tinggi. Sebagai contoh, jika seorang siswa yang sedang lapar, lemas maka ia
tidak akan bersemangat untuk belajar bahkan untuk menerima pelajaran dari
gurunya karena kondisi fisiknya sedang tidak baik. Pada saat lapar tersebut, ia
dikuasai oleh hasrat untuk memperoleh makanan
secepatnya. Jika kebutuhan-kebutuhan ini telah terpenuhi, maka muncul
kebutuhan-kebutuhan baru yang lebih tinggi dan begitu seterusnya. Inilah yang
dimaksud Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia diatur dalam sebuah hierarki yang
bersifat relatif.[5]
2) Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety Need)
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah
terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang dominan dan
menuntut pemuasan, yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety need). Yang dimaksud dengan kebutuhan rasa aman ini adalah
suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian
dan keteraturan dari lingkungannya. Dalam kegiatan belajar mengajar misalnya
terdapat suatu hukuman yang berwujud pukulan, amarah, kata-kata kasar akan
mendatangkan kepanikan dan teror yang luar biasa pada seorang anak, oleh karena
itu diperlukan rasa aman dan kasih sayang pada diri anak sehingga merasa betah
selama pelajaran berlangsung dan termotivasi untuk mengikuti dengan
sungguh-sungguh. Hal ini dapat ditingkatkan bila guru selalu memberikan
penghargaan dan umpan balik terhadap tugas-tugas siswa.[6]
3) Kebutuhan Akan Cinta,
Memiliki dan Kasih Sayang (Need for Love
and Belongingness)
Kebutuhan ini adalah suatu
kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan
emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis, di
lingkungan keluarga maupun kelompok masyarakat. Bagi kebanyakan orang,
keanggotaan dalam kelompok sering menjadi tujuan yang dominan dan mereka bisa
menderita kesepian, terasing dan tak berdaya apabila keluarga, pasangan hidup,
atau teman-teman meninggalkannya. Misalnya seseorang yang merantau jauh dari
kampung halamannya akan kehilangan ikatan atau rasa memiliki. Keadaan ini bisa
mendorongnya untuk membentuk ikatan baru dengan orang-orang atau kelompok
tempat ia merantau. Seorang siswa yang berprestasi tiba-tiba dapat tidak
mempunyai semangat dalam belajar, dan tidak mempunyai motivasi melakukan
sesuatu apabila kebutuhan untuk diakui kelompoknya tidak terpenuhi.[7]
4) Kebutuhan Akan Harga Diri (Esteem Needs)
Setelah kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang
terpenuhi, kebutuhan mendasar berikutnya yang muncul adalah kebutuhan akan
harga diri (need for self esteem). Kebutuhan ini meliputi dua hal, yaitu harga
diri dan penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan akan
kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, ketidaktergantungan, dan kebebasan.
Penghargaan dari orang lain meliputi nama baik, prestise, gengsi, pengakuan,
penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta apresiasi.
Terpuaskannya kebutuhan akan
rasa harga diri pada individu akan menghasilkan sikap percaya, rasa berharga,
rasa mampu, dan perasaan berguna. Sebaliknya, frustasi atau terhambatnya
pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri akan menghasilkan sikap rendah diri,
rasa tak pantas, rasa lemah, tak mampu dan tak berguna, yang menyebabkan
individu mengalami kehampaan, keraguan, dan memiliki penilaian yang rendah atas
dirinya dalam kaitannya dengan orang lain.
5) Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri (Need for Self Actualization)
Kebutuhan untuk mengungkapkan
diri atau aktualisasi diri merupakan hierarki kebutuhan dasar manusia yang
paling tinggi dalam Maslow. Aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai
perkembangan dari individu yang paling tinggi, mengembangkan semua potensi yang
ia miliki dan menjadi apa saja menurut kemampuannya. Bentuk aktualisasi diri
berbeda pada setiap orang, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
individual.
Apabila
kelima tingkatan kebutuhan dasar manusia tersebut di atas digambarkan dalam
sebuah hierarki, maka akan terlihat sebagai berikut:
AKTUALISASI DIRI
HARGA DIRI
CINTA DAN KASIH SAYANG
RASA AMAN
FISIOLOGIS
E. Aplikasi Teori
Humanistik dalam Pendidikan
1. Open Education atau Pendidikan Terbuka
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas
dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai
pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah lingkungan fisik kelas yang
berbeda dengan kelas tradisional, karena murid bekerja secara individual atau
dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-pusat
belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid
mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilan-ketrampilan
atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk
mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan
kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru.[8] Adapun kriteria yang
disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :
a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar,
b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan
terbuka.
c. Adanya
kesempatan bagi guru dan murid untuk bersamasama mendiagnosis
peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri,
guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d. Guru
mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat
catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes
formal.
2.
Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif merupakan
fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam
prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif ini ada 3
macam, yakni :
a. Team games atau turnament
Dalam teknik ini
murid-murid yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam tim
yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan
bahan pelajaran, lalu tim mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling
mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan menghadapi
perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali seminggu. Dalam turnamen
penentuan anggota tim berdasarkan kemampuan pada minggu sebelumnya. Hasilnya,
murid-murid yang berprestasi paling rendah pada setiap kelompok memiliki
peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai murid yang
berprestasi paling tinggi. Adapun jalannya turnamen adalah para murid secara
bergantian mengambil kartu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada
kartu itu, yakni pertanyaan yang sesuai dengan materi yang telah dipelajari
selama seminggu itu. Pada akhir turnamen, guru menyiapkan lembar berikut
tentang tim-tim yang berhasil dan skor-skor tertinggi yang dicapai.
Meskipun keanggotaan tim tetap sama, tetapi tiga orang
yang mewakili tim untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar penampilan dan
prestasi masing-masing anggota. Misalnya saat ini prestasi murid rendah dan ia
bertanding dengan murid lain yang kemampuannya serupa maka minggu berikutnya ia
bisa saja bertanding melawan murid-murid yang berprestasi tinggi manakala ia
menjadi lebih baik.
b. Student teams –
Achievement Divisions
Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai
lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen diganti dengan saling
bertanya selama lima belas menit, dimana pertanyaanpertanyaan yang diajukan
terlebih dulu disusun oleh tim. Skorskor pertanyaan diubah menjadi skor-skor
tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang
lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.
c. Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat
heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid mempelajari bagian
masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa.
Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan
bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan anggota tim lain tersebut,
kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites
mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat
ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang
digunakan untuk membuat skor tim.
3. Independent Learning
(Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang
menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol
kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung
pada subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar
(murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa
yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan
digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah
dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat
atau level perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari
peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses
belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik harus
siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul
ahli di bidang yang dipelajari peserta. Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan
antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan
pembelajaran secara keseluruhan. Perancangan pembelajaran ini merupakan alat
fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan
belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus
dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta
didik dalam penentuan tujuan belajar akan membuat mereka lebih berkomitmen
terhadap proses pembelajaran.
4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada
Siswa)
Student Centered Learning
atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan
peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas
pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan
keterampilan berfikir secara kritis, mengembangkan sistem dukungan social untuk
pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan
diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa entrepreneur. Sama
seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system pendidikan di tingkat
Perguruan Tinggi. Dengan SCL mahasiswa memil iki keleluasaan untuk mengembangkan segenap
potensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya,
membangun pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan
bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif,
kooperatif dan kontekstual.[9]
Adapun metode-metode SCL
antara lain :
a. Cooperative
Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Prinsip metode ini adalah mahasiswa belajar dari dan
dengan teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara penuh
bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai.
b. Competitive
Learning (Pembelajaran Kompetitif)
Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi mahasiswa
saling
berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil
terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi
individual berarti mahasiswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan
dengan pencapaian prestasi sebelumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan
membangun kerjasama kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi.
d. Case Based Learning
(Pembelajaran Berdasar Kasus)
Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi
mahasiswa untuk menguasai konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam
hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi yang telah
dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi mahasiswa untuk berkomunikasi
dan berargumentasi terhadap analisis suatu kasus.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan
belajar untuk memanusiakan manusia. Psikologi Humanistik adalah kritik terhadap
behavioristik yang memandang manusia sebagai mesin. Humanistik merubah
paradigma tersebut menjadi lebih manusiawi dan dihargai sebagai suatu kesatuan
yang utuh. Oleh karena itu teori ini sangat sesuai digunakan dibandingkan
dengan teori-teori lainnya, dengan menerapkan teori motivasi dan model
pembelajaran yang humanis, sehingga diharapkan dapat memicu semangat belajar
bagi para peserta didik.
B. KRITIK DAN SARkAN
Demikian
makalah mengenaiteori humanistik dan motivasi belajar untuk membangun interaksi
guru-siswa yang humanis yang dapat pemakalah paparkan.. Pemakalah menyadari
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Demi kesempurnaan makalah
ini dan berikutnya, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca. Semoga makalah ini memeberikan manfaat bagi pembaca dan juga pemakalah
khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
-
Supriyadi Ende. (2011). Pendidikan dengan Pendekatan Humanistik. Cianjur: TP.
-
Sukardjo .M. (2009),
Landasan Pendidikan Konsep & Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
-
Prawira,
PurwaAtmaja. (2013). Psikologi Pendidikan
Dalam Perspektif Baru. Jogjakarta: Ar-Ruzz media.
-
Maslow Abraham. (1993). Motivation and Personality,
terj.
Nurul
Iman,
Motivasi dan Kepribadian. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
-
Poerwati Endang,
Widodo Nur. (2002). Perkembangan Peserta
Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
-
Irawan dkk.
(1996) Teori Belajar, Motivasi dan
Ketrampilan Mengajar. Jakarta:Universitas Terbuka.
-
Syifa’a Rachmahana Ratna. (2008) Psikologi Humanistik dan Aplikasianya dalam
Pendidikan. Vol 1. No. 1.
[2] M.
Sukardjo, Landasan Pendidikan Konsep
& Aplikasinya.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009),hlm. 56
[3] Ibid. Hlm. 59
[4] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Prespektif Baru, (Yogyakarta:Ar-ruzz
Media, 2013) hlm. 320
[5] Abraham Maslow, Motivation and Personality, terj. Nurul
Iman,
Motivasi dan Kepribadian 1, (
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 43.
[6] Endang Poerwati dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 14.
[7] Irawan dkk.,
Teori Belajar, Motivasi dan Ketrampilan
Mengajar,(Jakarta:Universitas Terbuka,
1996), hlm. 45.
[8] Ratna Syifa’a Rachmahana. Psikologi
Humanistik dan Aplikanya dalam Pendidikan. 2008 Vol 1. No. 1. hlm 108
0 komentar:
Posting Komentar