MAKALAH
TEORI KOGNITIF DAN
INFORMATION PROCESSING SERTA PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
Disusun Guna Memenuhi:
Mata
Kuliah : Psikologi Pendidikan
Dosen
Pengampu : Nikmah Rachmawati, s.psi,.
m.psi
Disusun
oleh:
1. Inas Alfin Nahdiyah
(1607016006)
2. M. Rizki Fatkur Rohman (1607016031)
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang
Banyak negara mengakui
bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Negara sebagai
lembaga yang menguayakan kecerdasan kehidupan bangsa merupakan tugas negara
yang amat penting. Namun, dinegara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan
sering menjadi kritik dan kecaman. Adanya peruhabahan sistem pendidikan setiap
adanya perubahan mentri pendidikan juga turut mempengaruhi kualitas pendidikan
yang ada di Indonesia.
Teori kognitif lebih
menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya usaha dari
setiap individu dalam upaya menggali ilmu pengetahuan melalui dunia pendidikan.
penata kondisi tersebut bukan sebagai penyebab terjadinya proses belajar bagi
anak didik, tetapi melalui penggalian ilmu pengetahuan secara pribadi ini
diarahkan untuk memudahkan anak didik dalam proses belajar. aktivitas mandiri
merupakan salah satu faktor untuk mencapai hasil yang maksimal dalam belajar.
para pendidik (Guru) dan para perancang pendidikan serta pengembang
program-program pembelajaran perlu menyadari pentingnya pemahaman terhadap
hakikat belajar dan pembelajaran. Teori belajar dan pembelajaran seperti teori
kognitif penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan
konteks pembelajaran yang dihadapi.
- Rumusan Masalah
1.
Apa definisi psikologi
pendidikan?
2.
Apa itu teori Kognitif dalam
belajar?
3.
Apa itu information processing?
4.
Bagaimana penerapan teori
kognitif dan information processing dalam pembelajaran?
- TUJUAN
1.
Untuk mengetahui definisi
psikologi pendidikan
2.
Untuk mengetahui pengertian teori
kognitif
3.
Untuk mengetahui pengertian
information processing
4.
Untuk mengetahui penerapan teori
kognitif dan information processing dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Psikologi pendidikan
Psikologi
pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin psikologi, bukan psikologi
itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak memiliki teori,
konsep, dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan adanya hasil-hasil
riset psikologi yang lain yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode
psikologi pendidikan.[1]
Salah
seorang ahli yang menganggap pendidikan sebagai subdisiplin psikologi terapan
(applicable) adalah Arthur S. Reber (1998) seorag guru besar psikologi pada
Brooklyn College, Unniversity of New York City, University of Brithis Columbia
Canada, dan juga pada Universitas of Innsbruck Australia. Dalam pandangannya,
psikologi adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori
dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut :
1.
Penerapan prinsip-prinsip belajar
dalam kelas
2.
Pengembangan dan pembaruan
kurikulum
3.
Ujian dan evaluasi bakat dan
kemampuan
4.
Sosialisasi proses-proses dan
interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif
5.
Penyelenggaraan pendidikan
keguruan
Sementara
itu, Tardif (1987) mendefinisikan psikologi pendidikan mirip dengan takrif
diatas dalam arti cennderung menganggapnya semata-mata sebagai ilmu terapan.
Baginya, psikologi pendidikan adalah “ sebuah bidang studi yang berhubungan
dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha
kependidikan” adapun ruang lingkupnya meliputi:
1.
Context of teaching and learning
(situasi yang berhubungan dengan mengajar dan belajar)
2.
Process of teaching and learning
(tahapan-tahapan dalam mengajar dan belajar)
3.
Outcomes of teaching and learning
(hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan belajar)[2]
Teori belajar kognitif
menurut para ahli :
1.
Teori kognitif Gestalt
Pokok
pandangan gestalt bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
suatu keseluruhan yang terorganisasi (Muhammad, 2004)
Pandangan gestalt lebih
menekankan kepada perilaku molar. Implementasi teori gestalt dalam
pembelajaran, antara lain:
·
Pengalaman tilikan ( insight),
adalah kemampuan mengenali keterkaitan unsur-unsur dalam peristiwa
·
Pembelajaran bermakna (meaningful
learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam proses pembelajaran akan
semakin efektif sesuatu yang dipelajari, hal ini akan sangat penting dalam
pemecahan masalah.
·
Perilaku bertujuan (purposive
behavior), maknanya perilaku terarah pada tujuan. Proses pembelajaran akan
sangat efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapai dari suatu
proses pembelajaran tersebut.
·
Prinsip ruang hidup (life space),
bahwa perilaku individu memilii keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada.
Materi pembelajaran hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan ditempat siswa tinggal dan hidup.
·
Transfer dalam belajar , tansfer
dalam belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap
prinsip-prinsip pokok dari suatu masalah dan menemukan generalisasi untuk
kemudian digunakan dalam pemecahan masalah.
2.
Jean Piaget, teorinya disebut
“Cognitive Developmental”
Dalam
teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Suhaidi Jean
Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
1.
Tahap sensory – motor. yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan
dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2.
Tahap pre – operational, yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan
mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3.
Tahap concrete – operational,
yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan
diri pada karakteristik perseptual pasif.
4.
Tahap formal – operational, yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang
terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan
menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam
pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara
simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi
jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika
struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode
ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan
kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar
seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga
stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi
3.
Jerome Bruner Dengan Discovery
Learningnya
Bruner
menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner
meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk,
yaitu: enactive,iconic dan simbolic.Pembelajaran enaktif mengandung sebuah
kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif
adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek – melakukan pengatahuan
tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham
bagaimana cara melakukan lompat tali („melakukan‟ kecakapan tersebut), namun
tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata,
bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran ikonik
merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak
mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka.
Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga
dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan
dalam kata-kata. Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang
dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama
sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana
namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran
yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam
teori Piaget. Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri
learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
· Belajar merupakan
kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk
mengadakan petualangan pengalaman.
· Belajar penemuan terjadi karena
sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu
mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
· Kualitas belajar penemuan
diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan
simbolik.
· Penerapan belajar
penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah
informatif.
· Kreatifitas metaforik dan
creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
4.
Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi
pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum
belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Pengertian belajar bermakna Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar
bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar.
Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan
yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Sebagai ahli psikologi
pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui
bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi
dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama.
Oleh karena
itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar
bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan
sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada
bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan
mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya.
Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk
menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut
belum ahli, maka bahaya itu ada. Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan
informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu
dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini
guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang
perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai
yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful
learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan
dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa
yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu
diperlukan dua persyaratan :
· Materi yang secara potensial
bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan
pengetahuan masa lalu peserta didik.
· Diberikan dalam situasi belajar
yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini,
sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila
mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara
hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar
bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik
dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang
bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan
situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi. Dengan demikian kunci
keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau
yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan
belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar
penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan
informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan
dihasilkan belajar yang baik.
A.
Teori kognitif dalam pembelajaran
Teori
kognitif pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai pengalamannya sehingga
mengandung makna bagi manusia tersebut. Kognitif adalah proses yang terjadi
secara internal didalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir
(Gagne,1976:71). Teori kognitif menekankan peranan struktur ingatan dan
pengetahuan atau scemata terhadap proses penerimaan, pemrosesan penyimpanan,
pemanggilan kembali informasi yang telah ada didalam memori, atau tidak dapat
memanggil kembali informasi yang telah ada dipusat memori atau lupa,
selanjutnya menjelaskan tentang proses pengolahan informasi. Dengan demikian
kognitivisme belajar bukan sekedar menjelaskan kegiatan yang berkaitan dengan
latihan dan penguatan atau reward.
Kognitivisme
meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai
pengalamn-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia disekitarnya. Oleh sebab
itu, belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif. Untuk
melakukan hal tersebut, seluruh kemampuan mental digunakan secara optimal. Hal
ini tercermin dari cara berpikir yang digunakan individu dalam menghadapi
situasi tertentu, selanjutnya harapan-harapan yang dirasakan individu yang
bersangkutan mempengaruhi cara ia belajar.
Teori-teori
kognitif memberikan penekanan pada cara menstruktur pengetahuan yang didalam
memori yang menjadi dasar operasi mental pada waktu kegiatan berpikir
berlangsung.[3]
B.
Information processing
Information
processing atau proses penerimaan informasi merupakan salah satu bentuk
pendekatan berdasarkan kognitivisme. Pendekatan ini memandang peroses belajar
yang terjadi dalam diri individu sebagai suatu proses penerimaan informasi. Hal
ini dapat dianalogikan dengan proses yang terjadi dalam komputer. Belajar
dimulai dari input yang datang dari lingkungan diterima oleh pancaindera,
kemudian diproses dan disimpan didalam memori dan output dari pembelajaran
adalah berbagai kemampuan atau competencies.
Pada
dasarnya, proses penerimaan informasi adalah usaha pencarian makna yang dapat
menjelaskan hubungan antara observeble stimuli atau stimulus yang
ditangkap oleh pancaindera atau input, yang dilihat, didengan, dirasa, dicium,
dan disentuh dengan respon atau output yang sesuai.
Komponen penerimaan informasi
terdiri atas berikut ini :
1.
Penerimaan input sensori
dipengaruhi oleh orientasi individu, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
penerimaan dan pemilihan input sensori yang akan diperhatikannya.
2.
Mengorganisasi pola ingatan dan scemata
yang berkaitan dengan pemilihan input sensori yang menjadi perhatian.
3.
Dalam mengorganisasi pola ingatan,
ingatan jangka panjang merupakan sumber informasi yang dibutuhkan, yang
diwujudkan dalam bentuk mengingat kembali informasi yang berkaitan dengan
pengetahuan, perasaan dan keterampilan yang dicari untuk disusun kembali sesuai
dengan kebutuhan.
4.
Hasil penyusunan tersebut menjadi
ingatan aktif yang digunakan untuk memberikan respon yang sesuai.
Maka dapat disimpulkan bahwa
pemrosesan informasi berkaitan dengan cara yang diterimanya dari lingkungannya,
proses mengirimkan informasi tersebut kedalam pikirannya, mengolah dan
menyimpan informasi sebagai ingatan, mentransformasikan serta memanggil kembali
informasi yang telah disimpan dalam ingatan dan menjadikannya ingatan aktif
yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu tersebut.[4]
C.
Penerapan teori kognitif dan information
processing dalam pembelajaran
1.
Interaksi anak dengan teman-teman
sebayanya adalah perlu karena melalui kegiatan bermain, anak akan melakukan
berbagai kegiatan positif, seperti melakukan eksplorasi, dan melakukan berbagai
hal yang baru atau discovery. Semua aktivitas tersebut memperkaya
pengalaman empirik, logika-matematika, dan sosial anak.
2.
Dalam proses pembelajaran, guru
perlu mempertimbangkan strategi mengajar yang menghadapkan anak pada peristiwa
yang mengandung konflik dan ketidakpastian, sehingga anak akan memiliki
kesadaran terhadap konflik dan ketidakpastian sehingga proses asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrium dapat terjadi.
3.
Memusatkan perhatian pada cara
berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya. Guru harus memahami
proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut
4.
Mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
5.
Memaklumi akan adanya perbedaan
individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori kognitif mengasumsikan bahwa
seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama.
6.
Lingkungan pendidikan sebaiknya
menyediakan berbagai kegiatan yang mendorong perkembangan kognitif anak.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori
belajar kognitif lebih menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
persepsi pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajarnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajarnya. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses
interaksi yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, M, Psikologi Pendidikan, Jakarta,
Rineka Cipta, 2015.
E.Slavin, Robert, Psikologi Pendidikan Teori Dan
Praktik, Jakarta, PT indeks, 2011.
http://aristwn.staff.iainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/3/2014/09/Teori-Belajar-Kognitif.pdf
Jamaris, Martini, Orientasi Baru Dalam Psikologi
Pendidikan, Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2015.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, 2016.
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan,
Jakarta, Rineka Cipta, 1990.
0 komentar:
Posting Komentar