Sabtu, 09 Desember 2017

[PSI A] TEORI KOGNITIF DAN INFORMATION PROCESSING SERTA PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

MAKALAH
TEORI KOGNITIF DAN INFORMATION PROCESSING SERTA PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
Disusun Guna Memenuhi:
Mata Kuliah           : Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu   : Nikmah Rachmawati, s.psi,. m.psi

Logo_uin_walisongo
 















Disusun oleh:
1.      Inas Alfin Nahdiyah               (1607016006)
2.      M. Rizki Fatkur Rohman        (1607016031)


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
Banyak negara mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Negara sebagai lembaga yang menguayakan kecerdasan kehidupan bangsa merupakan tugas negara yang amat penting. Namun, dinegara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan sering menjadi kritik dan kecaman. Adanya peruhabahan sistem pendidikan setiap adanya perubahan mentri pendidikan juga turut mempengaruhi kualitas pendidikan yang ada di Indonesia.
Teori kognitif lebih menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya usaha dari setiap individu dalam upaya menggali ilmu pengetahuan melalui dunia pendidikan. penata kondisi tersebut bukan sebagai penyebab terjadinya proses belajar bagi anak didik, tetapi melalui penggalian ilmu pengetahuan secara pribadi ini diarahkan untuk memudahkan anak didik dalam proses belajar. aktivitas mandiri merupakan salah satu faktor untuk mencapai hasil yang maksimal dalam belajar. para pendidik (Guru) dan para perancang pendidikan serta pengembang program-program pembelajaran perlu menyadari pentingnya pemahaman terhadap hakikat belajar dan pembelajaran. Teori belajar dan pembelajaran seperti teori kognitif penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran yang dihadapi.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa definisi psikologi pendidikan?
2.      Apa itu teori Kognitif dalam belajar?
3.      Apa itu information processing?
4.      Bagaimana penerapan teori kognitif dan information processing  dalam pembelajaran?
  1. TUJUAN
1.      Untuk mengetahui definisi psikologi pendidikan
2.      Untuk mengetahui pengertian teori kognitif
3.      Untuk mengetahui pengertian information processing
4.      Untuk mengetahui penerapan teori kognitif dan information processing dalam pembelajaran







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin psikologi, bukan psikologi itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak memiliki teori, konsep, dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan adanya hasil-hasil riset psikologi yang lain yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode psikologi pendidikan.[1]
Salah seorang ahli yang menganggap pendidikan sebagai subdisiplin psikologi terapan (applicable) adalah Arthur S. Reber (1998) seorag guru besar psikologi pada Brooklyn College, Unniversity of New York City, University of Brithis Columbia Canada, dan juga pada Universitas of Innsbruck Australia. Dalam pandangannya, psikologi adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal  sebagai berikut :
1.      Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas
2.      Pengembangan dan pembaruan kurikulum
3.      Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan
4.      Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif
5.      Penyelenggaraan pendidikan keguruan
Sementara itu, Tardif (1987) mendefinisikan psikologi pendidikan mirip dengan takrif diatas dalam arti cennderung menganggapnya semata-mata sebagai ilmu terapan. Baginya, psikologi pendidikan adalah “ sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan” adapun ruang lingkupnya meliputi:
1.      Context of teaching and learning (situasi yang berhubungan dengan mengajar dan belajar)
2.      Process of teaching and learning (tahapan-tahapan dalam mengajar dan belajar)
3.      Outcomes of teaching and learning (hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan belajar)[2]
Teori belajar kognitif menurut para ahli :
1.      Teori kognitif Gestalt
Pokok pandangan gestalt bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi (Muhammad, 2004)
Pandangan gestalt lebih menekankan kepada perilaku molar. Implementasi teori gestalt dalam pembelajaran, antara lain:
·         Pengalaman tilikan ( insight), adalah kemampuan mengenali keterkaitan unsur-unsur dalam peristiwa
·         Pembelajaran bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam proses pembelajaran akan semakin efektif sesuatu yang dipelajari, hal ini akan sangat penting dalam pemecahan masalah.
·         Perilaku bertujuan (purposive behavior), maknanya perilaku terarah pada tujuan. Proses pembelajaran akan sangat efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran tersebut.
·         Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memilii keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Materi pembelajaran hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan ditempat siswa tinggal dan hidup.
·         Transfer dalam belajar , tansfer dalam belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu masalah dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam pemecahan masalah.
2.      Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
1.      Tahap sensory – motor. yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2.       Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3.      Tahap concrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
4.       Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi
3.      Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive,iconic dan simbolic.Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek – melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali („melakukan‟ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata. Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget. Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
 · Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
· Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
· Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
 · Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
· Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
4.      Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel. Pengertian belajar bermakna Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama.
Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada. Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
· Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
· Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
 Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.

A.     Teori kognitif dalam pembelajaran
Teori kognitif pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai pengalamannya sehingga mengandung makna bagi manusia tersebut. Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal didalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne,1976:71). Teori kognitif menekankan peranan struktur ingatan dan pengetahuan atau scemata terhadap proses penerimaan, pemrosesan penyimpanan, pemanggilan kembali informasi yang telah ada didalam memori, atau tidak dapat memanggil kembali informasi yang telah ada dipusat memori atau lupa, selanjutnya menjelaskan tentang proses pengolahan informasi. Dengan demikian kognitivisme belajar bukan sekedar menjelaskan kegiatan yang berkaitan dengan latihan dan penguatan atau reward.
Kognitivisme meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai pengalamn-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia disekitarnya. Oleh sebab itu, belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif. Untuk melakukan hal tersebut, seluruh kemampuan mental digunakan secara optimal. Hal ini tercermin dari cara berpikir yang digunakan individu dalam menghadapi situasi tertentu, selanjutnya harapan-harapan yang dirasakan individu yang bersangkutan mempengaruhi cara ia belajar.
Teori-teori kognitif memberikan penekanan pada cara menstruktur pengetahuan yang didalam memori yang menjadi dasar operasi mental pada waktu kegiatan berpikir berlangsung.[3]
B.     Information processing
Information processing atau proses penerimaan informasi merupakan salah satu bentuk pendekatan berdasarkan kognitivisme. Pendekatan ini memandang peroses belajar yang terjadi dalam diri individu sebagai suatu proses penerimaan informasi. Hal ini dapat dianalogikan dengan proses yang terjadi dalam komputer. Belajar dimulai dari input yang datang dari lingkungan diterima oleh pancaindera, kemudian diproses dan disimpan didalam memori dan output dari pembelajaran adalah berbagai kemampuan atau competencies.
Pada dasarnya, proses penerimaan informasi adalah usaha pencarian makna yang dapat menjelaskan hubungan antara observeble stimuli atau stimulus yang ditangkap oleh pancaindera atau input, yang dilihat, didengan, dirasa, dicium, dan disentuh dengan respon atau output yang sesuai.
Komponen penerimaan informasi terdiri atas berikut ini :
1.      Penerimaan input sensori dipengaruhi oleh orientasi individu, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan pemilihan input sensori yang akan diperhatikannya.
2.      Mengorganisasi pola ingatan dan scemata yang berkaitan dengan pemilihan input sensori yang menjadi perhatian.
3.      Dalam mengorganisasi pola ingatan, ingatan jangka panjang merupakan sumber informasi yang dibutuhkan, yang diwujudkan dalam bentuk mengingat kembali informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, perasaan dan keterampilan yang dicari untuk disusun kembali sesuai dengan kebutuhan.
4.      Hasil penyusunan tersebut menjadi ingatan aktif yang digunakan untuk memberikan respon yang sesuai.
Maka dapat disimpulkan bahwa pemrosesan informasi berkaitan dengan cara yang diterimanya dari lingkungannya, proses mengirimkan informasi tersebut kedalam pikirannya, mengolah dan menyimpan informasi sebagai ingatan, mentransformasikan serta memanggil kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan dan menjadikannya ingatan aktif yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu tersebut.[4]
C.     Penerapan teori kognitif dan information processing dalam pembelajaran
1.      Interaksi anak dengan teman-teman sebayanya adalah perlu karena melalui kegiatan bermain, anak akan melakukan berbagai kegiatan positif, seperti melakukan eksplorasi, dan melakukan berbagai hal yang baru atau discovery. Semua aktivitas tersebut memperkaya pengalaman empirik, logika-matematika, dan sosial anak.
2.      Dalam proses pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan strategi mengajar yang menghadapkan anak pada peristiwa yang mengandung konflik dan ketidakpastian, sehingga anak akan memiliki kesadaran terhadap konflik dan ketidakpastian sehingga proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium dapat terjadi.
3.      Memusatkan perhatian pada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut
4.      Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
5.      Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori kognitif mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama.
6.      Lingkungan pendidikan sebaiknya menyediakan berbagai kegiatan yang mendorong perkembangan kognitif anak.[5]










BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan.


























DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, M, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2015.
E.Slavin, Robert, Psikologi Pendidikan Teori Dan Praktik, Jakarta, PT indeks, 2011.
http://aristwn.staff.iainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/3/2014/09/Teori-Belajar-Kognitif.pdf
Jamaris, Martini, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan, Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2015.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, 2016.
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1990.




[1] Muhibbin Syah, psikologi pendidikan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset,2016) hlm.12
[2] Ibid, hlm.13
[3] Martini jamaris, orientasi baru dalam psikologi pendidikan, (Bogor, penerbit Galia Indonesia, 2015), hlm.126
[4] Ibid, hlm.128
[5] Ibid, hlm.131

Download file di sini

0 komentar:

Posting Komentar

Populer

[PSI B] SENSASI DAN PERSEPSI

BAB I                                                            PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia pada hakekatnya adal...