RUANG PUBLIK
DAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Diajukan
guna memenuhi Tugas Psikologi Komunikasi Dosen Pengampu: Nikmah Rachmawati, M.
Si
Disusun oleh:
1. Eka
Rohyani
|
(1607016050)
|
2. Amaliya Khamdanah
|
(1607016067)
|
3. Melina Pramadani
|
(1607016069)
|
4. M. Imadudin Abdul H
|
(1607016073)
|
PSIKOLOGI
FAKULTAS
PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017/2018
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Komunikasi
adalah peristiwa sosial, peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi
dengan manusia lain. Psikologi komunikasi sangat berperan dalam perubahan
perilaku manusia, terutama saat manusia berkomunikasi dengan manusia lain, baik
yang sifatnya interpersonal, kelompok maupun massa.
Ruang
publik adalah ruang di mana warganegara bisa berunding mengenai hubungan
bersama mereka sehingga merupakan sebuah arena institusi untuk berinteraksi
pada hal-hal yang berbeda (Habermas). Ruang Publik Secara Ideal Menurut Carr,
ruang publik harus memiliki tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Ada tiga aspek yang menjadi pembentuk
kualitas ruang publik meliputi aspek kebutuhan (needs), aspek hak (right) dan
aspek makna (meanings). Peningkatan
kualitas ruang publik tidak cukup hanya dengan menambahkan atau memperbaiki
fasilitas pendukung. Akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mendasari
perencanaan peningkatan kualitas seperti: kenyamanan, vitalitas, dan Image.
Kerangka
pemikiran media pers dan civil society dimulai
dengan proses untuk mengembangkan pemahaman dan pendapat tentang masalah publik
di kalangan warga masyarakat. Keberadaan pers berada dalam landasan menjamin
hak publik untuk mendapat informasi bebas dan benar. Maka diperlukan suatu
ketentuan yaitu perundang-undangan kebebasan informasi, maka hukum harus jelas
batasan dan makna informasi publik yang sudah menjadi hak warga tersebut.
B. Rumusan masalah
Dalam
makalah ini kami membahas tentang ruang publik, kriteria ruang publik,
pelayanan ruang publik serta peningkatan kualitas ruang publik.
PEMBAHASAN
A.
Definisi komunikasi
Istilah
komunikasi ( Bahasa Inggris communication)
berasal dari Bahasa Latin communicatus atau
communicatio atau communicare yang berarti berbagi atau
menjadi milik bersama. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa
mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut Webster New Collogiate Directionary komunikasi
adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem
lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku.1
Dari perspektif psikologi, Havland, Janis, dan Kelly
mendefinisikan komunikasi sebagai “The
process by witch an individual (the communicator) transmits stimulus (usually
verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience). Dalam
konteks ini psikologi mencoba menganalisis komunikasi antar individu; bagaimana
pesan yang disampaikan menjadi stimulus yang menimbulkan respon bagi individu
lain, bagimana lmbang-lambang dapat bermakna dan bisa mengubah perilaku orang
lain.2
Komunikasi
adalah peristiwa sosial, peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi
dengan manusia lain. Menganalisis peristiwa sosial secara psikologi membawa
kita pada psikologi sosial. Karena itu, pendekatan psikososial adalah
pendekatan psikologi komunikasi juga. (Jalaludin Rakhmat, 1968: 12).
Konsep
tersebut menunjukan bahwa psikologi komunikasi sangat berperan dalam perubahan
perilaku manusia, terutama saat manusia berkomunikasi dengan manusia lain, baik
yang sifatnya interpersonal, kelompok maupun massa. Dengan orang memahami dan
mengerti psikologi komunikasi, orang mampu melihat dan menganalisis gerak dan
tingkah laku kedua komponen tersebut, yang berbicara dan
1 Riswandi,
Psikologi Komunikasi, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013). Hal. 1
2 Nina
W. Syam, Psikologi Sebagai Akar Ilmu
Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011). Hal. 35
yang mendengar. Dengan menganalisis pandangan inI, maka Peran
ilmu psikologi komunikasi dalam perkembangan masyarakat dan pengetahuan cukup
besar.3
B. Pengertian Ruang Publik dan Bentuk Ruang Publik
Konsep
tentang ruang publik (publik sphere) pada
awalnya dikemukakan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf Mazhab Frankfurt
yangberasal dari Jerman. Menurut Habermas ruang publik adalah ruangdi mana
warganegara bisa berunding mengenai hubungan bersama mereka sehingga merupakan
sebuaharena institusi untuk berinteraksi pada hal-hal yang berbeda.4
Menurut
Carr dalam Francis (2012), ruang publik yang baik harus bersifat
responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang publik yang responsif artinya dapat
digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan. Sedangkan yang dimaksud
dengan demokratis yaitu ruang publik dapat dimanfaatkan pengunjung tanpa adanya
perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis merupakan satu
watak ruang publik karena ruang publik harus dapat dijangkau (aksesibel)
pengunjung dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat
tubuh maupun lansia. Yang dimaksud dengan bermakna adalah pengunjung dapat
memiliki rasa kepuasan dan kenyamanan baik secara sosial maupun fisik. Karena
ruang publik menampung kepentingan publik (public
domain) dan kepentingan private (private
domain), Sehingga pemenuhan terhadap ruang publik yang baik harus selalu
diupayakan. Salah satu upaya dalam merencanakan dan mengelola ruang publik
adalah pemenuhan fasilitas yang menunjang kegiatan publik. Salah satu daya
dukung bagi pengunjung adalah kemudahan dalam mengakses.5
Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang ini memungkinkanterjadinya pertemuan antar manusia untuk saling
3 Ibid, Nina W. Syam. Hal. 45.
4 Ristiana
Kadarsih, Demokrasi Dalam Ruang Publik:
Sebuah Pemikiran Ulang Untuk Media Massa Di
Indonesia
(Jurnal Dakwah, Vol. IX No. 1, Januari-Juni 2008).
5 Rachma Sari, Septi,
dan Hadi Wahyono. 2015. Kinerja Pelayanan
Alun-alun Kota Purworejo Sebagai Ruang Publik. Jurnal Teknik PWK. (Online),
Volume 4, Nomor 1, 2015.
berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul
berbagai kegiatan bersama, maka ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai
ruang umum.
Meskipun
sebagian ahli mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang terbuka. Menurut
sifatnya, ruang publik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1.
Ruang publik tertutup :
adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan.
2.
Ruang publik terbuka : yaitu
ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut ruang
terbuka (open space).6
Pembentukan ruang rublik; suatu bentuk
dari ruang fisik atau suatu set dari hubungan-hubungan yang menempati ruang dan
menegaskan suatu komunitas (Brodin, 2006). Berhubungan dengan bagian-bagian
pada lingkungan alami dan binaan, publik dan privat, internal dan eksternal,
perkotaan dan pedesaan, di mana masyarakat umum mendapatkan akses secara bebas
(Carmona, 2008).
Berdasarkan
proses pembentukannya, Brodin (2006) membagi ruang publik, menjadi:
1.
Ruang publik metafora (Metaphorical Publik Space). Dalam ilmu bahasa, metafora dapat
berarti ungkapan atau gaya bahasa (majas) menggunakan kiasan dengan
membandingkan sesuatu dengan hal lain (analogi). Terjadi pergeseran makna atas
objek atau kalimat yang mendapat majas. Misalnya, engkau adalah jantung hatiku, Jantung Hati mengandung
makna seseorang yang sangat berarti, bukan jantung hati secara harfiah.
2.
Ruang dimaknai tidak menurut perwujudan fisik atau fungsi, tetapi bagaimana peranan ruang tersebut. Ruang berperan untuk mewadahi isinya yaitu hubugan antar manusia. Ruang terbentuknya dalam konteks sosial yaitu dari proses komunikasi antar manusia. Sebagai contoh: Arak-arakan di jalan raya cenderung mendiskriminasikan orang untuk keluar dari zona publik. Habermas (1989) dalam Brodin (2006): Liberal Public Space Protected Autonomy of Privat Space and Circumcribed Publik Power.
6 ibid
3.
Ruang publik harfiah (Literal Publik Space): Ruang dimaknai
secara langsung sesuai sifat fungsional dan pelingkupan fisiknya. Brodin
(2006): Ruang publik di pandang tidak terbentuk dari aktivitas atau proses
komunikasi, tetapi berdasarkan adanya kases. Untuk itu diperlukan pemahaman
menganai tipologi ruang menurut fungsi dan bentuk ruang dan aksesibilitas perlu
diteliti lebih lanjut. Bentuk ruang dan aksessibilitas kemudian dapat
mengembangkan atau menurunkan sifat publik suatu ruang.7
Peranan Ruang Publik (Carmona, et al, 2008)
membaginya sebagai:
a.
Ekonomi: Memberi nilai yang
positif pada nilai properti, mendorong performa ekonomi regional, dapat menjadi
bisnis yang baik.
b.
Kesehatan: Mendorong
masyarakat untuk aktif melakukan gerakan fisik, menyediakan ruang informasi dan
formal bagi kegiatan olahraga, mengurangi stress.
c.
Sosial: Menyediakan ruang
bagi interaksi dan pembelajaran sosial pada segala usia, mengurangi resiko
terjadinya kejahatan dan sikap anti-sosial, mengurangi dominasi kendaraan
bermotor sehingga angka kecelakaan berkurang, mendorong dan meningkatkan kehidupan
berkomunitas, mendorong terjadinya interaksi antarbudaya
d.
Lingkungan: mendorong
terwujudya transportasi berkelanjutan, meningkatkan kualitas udara, mengurangi
efek populasi, menciptakan kesempatan untuk berkembangnya keanekaragaman
hayati.
Beberapa kebutuhan
mendasar berkaitan dengan ruang publik:
a.
Kenyamanan (comfort), terdiri dari: faktor
Lingkungan (angin, sudut datang sinar matahari, dsb). Kenyamanan Fisik
(ketersediaan perabot lansekap, dsb). Kenyamanan Sosial dan Psikologi
(ketenangan suasana, dsb). Dapat diindikasikan dari kenyamanan pengguna untuk
menghabiskan waktu di ruang publik yang didukung oleh beberapa kondisi).
b.
Relaksasi (relaxation), kenyamanan mendukung
terciptanya suasana relaksasi, yang secara fisik terwujud baik melalui penataan
elemen alami (pohon, aliran air, dsb) maupun pemisahan spesial antara jalur
kendaraan bermotor dengan jalur pejalan kaki.
c.
Penggunaan Secara Pasif (passive engagement), penggunaan pasif
yang dilakukan oleh pengguna ruang publik adalah mengamati lingkungan. Setting
spasial ruang publik harus memungkinkan pengguna untuk berhenti bergerak dan
menikmati suasana yang didukung oleh perabot lansekap yang memadai.
d.
Penggunaan Secara Aktif (active engangement), terjadi dalam
bentuk kegiatan- kegiatan yang secara langsung melibatkan pengguna. Interaksi
yang terjadi dalam bentuk komunikasi anta pengguna ini dapat terjadi secara
spontan maupun dengan stimulus yang disebut tringulasi (Carmona, et al, 2003).
e.
Petualangan/Keanekaragaman Fitur (discovery), pengalaman ruang yang
beragam akan meningkatkan ketertarikan orang untuk terlibat di suatu ruang
publik. Pengalaman ruang ini dapat terwujud berupa desain lansekap yang unik, penampilan
panorama alami yang menarik, pertunjukan kesenian, kios, dsb.
C. Aspek Dasar Kriteria Ruang Publik
Ruang
Publik Secara Ideal Menurut Carr, ruang publik harus memiliki tiga hal yaitu
responsif, demokratis, dan bermakna.
Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas yang memiliki fungsi lingkungan hidup.
Artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar
belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta akses bagi berbagai kondisi fisik
manusia. Memiliki arti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia,
ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial. Dengan kata lain, ada sistem
pemaknaan dalam ruang publik. 8
a.
Responsif
Ruang publik yang responsif memiliki arti bahwa
suatu ruang terbuka public dirancang untuk melayani semua kebutuhan penggunanya
serta dapat
digunakan untuk
menampung berbagai kegiatan dan dapat mengakomodasi semua kegiatan yang ada.
Seseorang didalam ruang public membutuhkan kenyamanan, suasana santai, kegiatan
yang bersifat aktif dan pasif serta menemukan hal yang baru.
b.
Demokratis
Ruang
publik yang demokratis memiliki arti bahwa ruang publik seharusnya dapat
digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan
budaya, aksesibel dalam berbagai hal dan tidak ada diskriminasi di dalam
menggunakan ruang terbuka publik. Namun harus tetap memperhatikan batasan
demokratis itu sendiri, sehingga kegiatan dan kepentingan lainnya tidak saling
mengganggu.
c.
Bermakna
Sebuah
premis dasar untuk desain ruang publik adalah untuk menyediakan tempat yang
bermakna bagi dasar kebutuhan penggunanya seperti kenyamanan, relaksasi dan
tempat interaksi sosial (Hanan, 2013). Ruang publik yang
bermakna memiliki arti bahwa ruang publik seharusnya menciptakan
keterkaitan antara lokasi, kehidupan manusia dan dunia secara lebih luas dalam
konteks fisik maupun sosial. Keterkaitan ini dapat dilihat dari segi sejarah
maupun masa yang akan datang, budaya seseorang atau sejarah yang relevan,
realitas biologis maupun psikologis, atau kejadian di negara lain. Sehingga
ruang publik memberikan kesan tersendiri terhadap para penggunanya.9
Prinsip-prinsip
ruang publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi
keprihatinan umum, dimana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal,
dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan
kepentingan umum bersama. Ruang publik dengan demikian mengandaikan adanya
kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas
berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Sesudah
terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas
9 Ibid.,
Septi Rachma Sari dan Hadi Wahyono.
menyarankan,
agar ruang publik borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang
menjamin hak-hak politik secara meluas. Pula mendirikan sistem yudisial untuk
menengahi klaim-klaim antara berbagai individu atau berbagai kelompok, atau
antara individu dan kelompok dan negara.
Dalam
konsep Habermas, media dan ruang publik berfungsi di luar sistem
politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ruang publik ini sebagai
tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan
transformasi politik. Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai
bentuk ruang publik borjuis. Mulai dari ruang publik yang bersifat
partisipatoris dan aktif di era heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-
bentuk ruang publik yang lebih privat dari pengamat politik dalam masyarakat
industri birokratis. Pada masyarakat semacam itu, kalangan media dan elite
mengontrol ruang publik.10
D. Kinerja Pelayanan Ruang Publik
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (2002) kinerja adalah sesuatu yang dicapai,
prestasi yang diperlihatkan, hasil dari suatu kemampuan kerja sesuai dengan
fungsinya. Menurut pendapat Danisworo (1989) kenyamanan dan keselamatan
merupakan variabel yang utama dalam indicator responsibilitas. Sesuai dengan
penjelasan Carr (1992) tiga aspek yang menjadi pembentuk kualitas ruang publik
meliputi aspek kebutuhan (needs), aspek
hak (right) dan aspek makna (meanings). Ketiga aspek tersebut secara
berurutan akan sangat menentukan sejauh mana tingkat responsibility, democratic dan
meaningful suatu ruang publik kota.
a)
Kebutuhan (needs),
faktor-faktor yang dapat dikaji adalah sebagi berikut :
1.
Kenyamanan (comfort), dapat dilihat dari fasilitas
pendukung, penyediaan bangku taman, pedestrian, pencahayaan dan penyediaan
gazebo.
10 Wahyu Kuncoro, Eksistensi
Ruang Publik di Media Cetak: Studi Kasus Jawa Pos, Surya, dan Surabaya Post (Jurnal
Komunikasi Islam, Vol. 03, No. 02, 2013)
2.
Santai (relaxation), merupakan hal yang diinginkan oleh para pengguna
ruang publik yang meliputi kenyamanan ketika berada di lingkungan setempat dan
keamanan beraktivitas.
3.
Keterlibatan pasif (passive engagement) yaitu keterlibatan
pengguna dalam suatu ruang publik dalam hal mengamati, memandang dan berdialog
dengan lingkungan.
4.
Keterlibatan aktif (active engagement) yaitu keterlibatan
pengguna dalam ruang publik dalam hal bergerak melewati taman, berkomunikasi,
peringatan/event kegiatan, dan area
untuk orang dewasa atau anak-anak.
5.
Penemuan (discovery) selama beraktivitas dapat
berupa pedestrian dan elemen-elemen landscape.
b) Hak (right)
1.
Akses dan kemudahan
pencapaian dengan menghindari batas fisik, menghindari batas penghalang visual,
dan symbol akses ke ruang publik untuk
semua kelompok masyarakat.
2.
Kebebasan bergerak (freedom of action) ke semua bagian
ruang publik yang dapat diwujudkan dalam bentuk ruang serba guna bagi beberapa
aktivitas, zona aktivitas, dan perlindungan terhadap ruang tertentu.
3.
Pengakuan penggunaan ruang
terhadap pemisahan ruang terbuka yang berguna untuk kepentingan masyarakat dan
program terhadap pengendalian penggunaan ruang.
4.
Perubahan yang ditimbulkan
baik dalam jangka waktu dekat dan jangka waktu
panjang.
c)
Makna (meaningful) merupakan aspek yang dikaji dari aspek fisik dan nonfisik serta berkaitan dengan sejarah
dan sosial politik dan budaya dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Mudah dikenali (legibility) yaitu adanya kejelasan dan
keteraturan yang menyangkut tentang batas area yang fleksibel, node sosial yang
menghubungkan jalur penghubung, pembagian area, landmark kawasan.
2.
Adanya keterkaitan (relevance) antara norma budaya dan
pengguna, desain dan management, kualitas formal alun-alun dengan ruang publik lain.
3.
Hubungan individu (individual connection) dalam bentuk membagi
tempat- tempat guna menarik perhatian pengunjung, penyediaan tempat bermain
bagi anak dan tempat penting bagi perorangan.
4.
Hubungan kelompok (group connection) dalam bentuk ruang
berkelompok (sosial level, etnis, dll), ruang untuk olahraga, dan ruang
pendukung aktivitas seni.
5.
Hubungan dengan lapisan
masyarakat yang lebih luas (connection to
larger society) biasanya berupa tempat istimewa, simbol dari keberlngsungan
sejarah, kepentingan politik, sosial budaya, ekonomi dan simbol kekuasaan dan lain-lain.
6.
Hubungan aspek biologis dan
psikologis (biological and psychological
connections) seperti hubungan dengan elemen-elemen alam, ruang utama
sebagai orientasi ruang disekitarnya, dan ruang khusus yang nyaman dan aman
untuk anak-anak.
7.
Hubungan dengan faktor lain (connection to other world) diantaranya
hubungan kosmis secara makro dan mikro, dan iklim.
E. Peningkatan Kualitas Ruang Publik
Peningkatan
kualitas ruang publik tidak cukup hanya dengan menambahkan atau memperbaiki
fasilitas pendukung. Akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mendasari
perencanaan peningkatan kualitas ruang publik, antara lain :
1)
Kenyamanan: faktor
kenyamanan dapat dilakukan dengan memberikan fasilitas- fasilitas pada ruang
publik seperti tempat duduk yang terlindungi dari sinar matahari, tempat
pemberhentian yang nyaman untuk menunggu bus, dsb. Kenyamanan juga bisa dicapai
dengan melakukan pelebaran trotoar sesuai dengan kebutuhan (Shirvani, 1985) 2.
Pencapaian Faktor pencapaian menuju tempat umum sangat penting terutama
bagi pejalan kaki atau pemakai
kendaraan
bermotor. Misalnya transit mall yang mempermudah orang
menyeberang jalan dan memperlancar sirkulasi kendaraan/bus (Rubeinstein, 1992)
2)
Vitalitas: vitalitas di
ruang publik merujuk kepada keamanan, keinginan pengguna dan ruang yang lebih
menarik yang memiliki kapasitas untuk menawarkan lebih banyak pilihan untuk
kegiatan sosial serta menjadi tempat untuk pertukaran budaya (Jalaladdini,
2011). Menurut Lynch (1961) vitalitas memiliki arti bahwa ruang publik
seharusnya lebih diramaikan dengan adanya cafe, pedagang kaki lima, dan
kegiatan lain yang menggunakan ruang publik misalnya festival-festival yang
akan menghidupkan suatu kawasan.
3)
Image: Faktor image dapat
diciptakan sesuai dengan keinginan perencana atau pengelola dengan menampilkan
elemen-elemen yang dapat memberi kesan khusus sehingga dapat menarik para
pengunjung (Shirvani, 1985)
F. Pers Sebagai Ruang Publik
Mata
rantai kerangka pemikiran media pers dan civil
society dimulai dengan proses untuk mengembangkan pemahaman dan pendapat
tentang masalah publik di kalangan warga masyarakat. Dari sini warga perlu
mendapat informasi yang bebas dan benar mengenai masalah tersebut. Masalah
publik (public issue) dapat diartikan
secara sederhana sebagai fakta/kejadian dalam kehidupan masyarakat yang
bersentuhan dengan institusi di ruang publik, baik secara politik, ekonomi
maupun kultural, dalam hal ini dilihat lebih spesifik dari kebijakan dan
pelayanan publik oleh pemerintahan lokal melalui interaksi institusi eksekutif
dan legislatif.
Disinilah
media jurnalisme mengambil tempat sebagai zona netral dalam proses interaksi
sosial sehingga tercapai consensus sosial. Konsensus sosial pada dasarnya
penerimaan atas dasar akal sehat (common
sense) dan rasionalitas atas posisi suatu isu publik. Inilah kemudian yang
menjadi dasar bagi kebijakan publik/negara, baik berupa keputusan maupun
tindakan-tindakan pejabat publik dalam melayani warga masyarakat, yang diterima
atas basis akal sehat dan rasionalitas pula.
Kebebasan
pers dapat diimplementasikan mencakup rangkaian proses dari kehidupan warga
masyarakat yang dikenal sebagai fakta publik (public fact),
kemudian menjadi masalah publik (public issue) yang disiarkan sebagai informasi jurnalisme oleh
media massa.
Setiap
kebebasan (dari dan untuk) memiliki batasan yang disepakati berdasarkan kaidah
acuan nilai kultural bersama (shared
values) dalam kehidupan publik. Selain itu keberadaan pers berada dalam
landasan menjamin hak publik untuk mendapat informasi bebas dan benar. Maka
diperlukan suatu ketentuan yaitu perundang-undangan kebebasan informasi, maka
hokum harus jelas batasan dan makna informasi publik yang sudah menjadi hak
warga tersebut. Proses memperoleh dan menyampaikan informasi jurnalisme yang
terkandung dalam norma kebebasan pers, merupakan basis dalam kehidupan publik
agar warga masyarakat dapat ikut ambil bagian (sharing) dalam proses demokrasi
kehidupan negara. Pengertian kebebasan pers yang berdimensi politik dan
kebebasanekspresi yang berdimensi kultural sering dicampur-adukkan. Informasi
jurnalisme dilihat dari etika dan epistemologi yang bertumpu pada kebenaran
empiris.
Informasi
jurnalisme/pers diwujudkan dalam berbagai format, seperti berita (straight
ataupun indepth), features, artikel opini (opinioted
pieces), talkshows dalam media
penyiaran, dan lainnya. Seluruh format ini disebut sebagai aktivitas
pemberitaan, bertumpu pada fakta public yang layak dijadikan isu melalui media
massa. Kehadiran informasi jurnalisme bertolak dari asumsi bahwa dengan motif
pragmatis sosial warga masyarakat menjadikan informasi publik dari media massa
sebagai referensi dan dasar alam pikirannya dalam memproses diri dalam
institusi politik, ekonomi dan kultural. Ini bisa disebut sebagai pemenuhan hak
untuk mengetahui dalam konteks keberadaannya di ruang publik. Keberadaan dan
peranan warga dalam institusi politik, ekonomi dan kultural ini menentukan
sifat, kualitas dan kuantitas informasi public yang diperlukannya (Brooks,
et.al., 1988).11
11 Siregar, Ashadi. 2011.
Democratic Govermance dan Hak Azasi
Manusia: Makna Kebebasan Pers dalam Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. (Online), Volume 14, Nomor 3, 2011.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ruang
publik adalah ruang di mana warganegara bisa berunding mengenai hubungan
bersama mereka sehingga merupakan sebuah arena institusi untuk berinteraksi
pada hal-hal yang berbeda (Habermas). Ruang Publik Secara Ideal Menurut Carr,
ruang publik harus memiliki tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Prinsip-prinsip ruang publik
melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan
umum, dimana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak
ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum
bersama.
Ada
tiga aspek yang menjadi pembentuk kualitas ruang publik meliputi aspek
kebutuhan (needs), aspek hak (right) dan aspek makna (meanings). Peningkatan kualitas ruang
publik tidak cukup hanya dengan menambahkan atau memperbaiki fasilitas
pendukung. Akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mendasari perencanaan
peningkatan kualitas seperti: kenyamanan, vitalitas, dan Image.
Mata
rantai kerangka pemikiran media pers dan civil
society dimulai dengan proses untuk mengembangkan pemahaman dan pendapat
tentang masalah publik di kalangan warga masyarakat. Dari sini warga perlu
mendapat informasi yang bebas dan benar mengenai masalah publik tersebut.
Keberadaan pers berada dalam landasan menjamin hak publik untuk mendapat
informasi bebas dan benar. Maka diperlukan suatu ketentuan yaitu
perundang-undangan kebebasan informasi, maka hokum harus jelas batasan dan
makna informasi publik yang sudah menjadi hak warga tersebut.
B. Kritik dan saran
Demikian
makalah yang dapat kami buat. Tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Riswandi. 2013. Psikologi
Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syam
, Nina W. 2011. Psikologi Sebagai Akar
Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Kadarsih
, Ristiana. 2008. Demokrasi Dalam Ruang
Publik: Sebuah Pemikiran Ulang Untuk Media Massa Di Indonesia (Jurnal
Dakwah, Vol. IX No. 1).
Kuncoro,
Wahyu. 2013. Eksistensi Ruang Publik di
Media Cetak: Studi Kasus Jawa Pos, Surya, dan Surabaya Post (Jurnal
Komunikasi Islam, Vol. 03, No. 02)
Jurnal
Universitas Atma Jaya Yogjakarta. (Online), pada e- journal.uajy.ac.id/11311/4/3MTA02155, diakses 29 Oktober 2017.
Rachma
Sari, Septi, dan Hadi Wahyono. 2015. Kinerja
Pelayanan Alun-alun Kota Purworejo Sebagai Ruang Publik. Jurnal Teknik PWK.
(Online), Vol. 4, No. 1, 2015. Siregar, Ashadi. 2011. Democratic Govermance dan Hak Azasi Manusia: Makna Kebebasan Pers dalam
Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. (Vol. 14, No. 3, 2011
(https://journal.ugm.ac.id/jsp/article/view/10931).
Download file di sini
0 komentar:
Posting Komentar