KECERDASAN
EMOSI DAN MULTIPLE INTELLIGENCE
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah : Psikologi
Pendidikan
Dosen
Pengampu : Nikmah Rahmawati,
M. Si., Psi.
Disusun
Oleh :
1.
Mukhammad
Banari Aza (1507016052)
2.
Nubaela
Bahirotin Nur (1607016068)
3.
Hajar
Ummu Fatikh (1607016071)
PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGOSEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kecerdasan Emosi dan Multiple
Intellegensi” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan Bu Rahma.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan materi-materi
yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Psikologi Pendidikan, serta infomasi dari jurnal yang berhubungan dengan Kecerdasan Emosi dan Multiple
Intellegensi, tak lupa penyusun ucapkan
terima kasih kepada pengajar mata kuliah Psikologi Pendidikan atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini.
Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah ikut andil dalam penyusunan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita
mengenai Kecerdasan Emosi dan Multiple Intellegensi, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Intelegensi merupakan satu konsep
yang dipelajari dalam psikologi. Sebagian orang
berpendapat bahwa intelegensi merupakan hal yang paling penting dalam
kehidupan. Di zaman modern saat ini, masyarakat umum mengenal inteligensi
sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan
untuk memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran
tentang anak yang berintelegensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang
pintar, siswa yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang
jempolan di kelasnya. Bahkan Gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citra anak yang
wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkacamata. Sebaliknya,
gambaran anak yang berinteligensi rendah membawa citra seseorang yang lamban
berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah, dan mulut lebih banyak
menganga disertai tatapan mata bingung.
Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam
belajar, seseorang harus memiliki
Intelligence Quotient (IQ) yang
tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam
belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang bagus. Akan tetapi kenyataannya dalam proses belajar mengajar di sekolah
sering ditemukan prestasi belajar siswa
tidak setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi
memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif
rendah, dapat meraih prestasi belajar yang tinggi. Itu sebabnya taraf
inteligensi bukan merupakan satu - satunya faktor yang menentukan keberhasilan
seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Termasuk juga dalam hal ini banyak di temukan fenomena
bahwa banyak siswa
yang memiliki intelegen si tinggi
ketika duduk di bangku sekolah tidak bisa mempertahankan prestasi mereka (tidak
sukses) ketika telah berkecimpung dalam
kehidupan bermasyarakat, bahkan kesuksesan
mereka kalah jika
dibandingkan dengan anak yang dahulunya memiliki intelegensi sedang, atau bahkan rendah atau
tidak memiliki pendidikan yang tinggi .
Ada faktor tertentu penyebab
terjadinya fenomena tersebut.
Menurut Goleman kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi
kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan- kekuatan lain,
diantaranya adalah kecerdasan emosional atau
Emotional Quotient (EQ) yakni
kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati,
mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi?
2.
Bagaimana kecerdasan emosi dalam peningkatan prestasi belajar?
3.
Apa saja multiple intelligence itu?
4.
Apa saja faktor yang mempengaruhi intelegensi itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient)
1.
Pengertian Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient)
Para ahli telah banyak yang mengungkapkan pengertian EQ (Emotional
Quotient) antara lain, menurut Salovey
dan Mayer yang di kutip oleh Lawrence, mengatakan bahwa: EQ (Emotional Quotient) merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri
maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini
untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Sebenarnya pada tahun 1920, Thorndike meletakkan dasar- dasar teori
EQ (Emotional Quotient), saat ia berbicara tentang teori kecerdasan sosial yang
di definisikannya sebagai kemampuan untuk berperilaku bijaksana dalam
berhubungan dengan sesama manusia. Namun istilah ini belum diteliti dan dikaji
secara mendalam, sampai suatu saat Howardgardner tahun 1983 berbicara tentang
apa yang di sebutnya sebagai kecerdasan majmuk. Tampaknya setelah itu, istilah
kecerdasan Emosional (Emotional
Intelligence) dikenalkan kembali oleh Psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan Johan Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990. Namun
pengetahuan tentang kecerdasan emosional baru menyebar luas di masyarakat
setelah terbitnya buku best seller karya Danial Goleman pada tahun 1995 yang mendefinisikan Emotional Quotient sebagai kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih - lebihkan kesenagan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan
berdo’a.
Istilah Emotional
Quotient pada awalnya merupakan
pengembangan dari kata emosi yang merujuk pada suatu kecerdasan dalam mengelola
emosi secara tepat. Emosi berperan penting karena emosi adalah penyambung hidup
bagi kesadaran diri dan kelangsungan diri yang secara mendalam menghubungkan
kita dengan diri kita sendiri dan orang lain serta dengan alam dan kosmos.
Lebih jauh Goleman berpendapat bahwa emosi merujuk pada suatu perasan dan pikiran
khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan
untuk bertindak . Emosi juga dapat digambarkan sebagai suatu keadaan jiwa yang
bereaksi terhadap lingkungannya ataupun terhadap kamauan internalnya (motivasi)
yang diwujudkan dalam bentuk rasa persepsi dan tingkah laku yang tertentu.
Sehingga dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional (Emotional Quotient) adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
perasaannya sendiri dan orang lain, kemampuan untuk beradaptasi pada situasi
dan kondisi yang berbeda dan kemampuan untuk mengendalikan atau menguasai emosi sendiri atau orang lain
pada situasi dan kondisi tertentu serta mampu mengendalikan reaksi serta
perilakunya.
Selanjutnya dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan kecerdasan
emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi
diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan
kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.[1]
2.
Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient) Dalam Peningkatan Prestasi
Belajar
Dalam kesehariannya emosi sangat berperan penting dalam kehidupan.
Emosi memberi tahu kita tentang hal- hal yang paling utama bagi kehidupan kita,
masyarakat, nilai - nilai, kegiatan dan kebutuhan yang memberi kita motivasi, semangat,
kendali diri dan kegigihan. Kesadaran dan pengetahuan tentang emosi
memungkinkan kita memulihkan kehidupan dan kesehatan kita, melindungi keluarga
kita dan meraih keberhasilan dalam pekerjaan kita. Dengan melihat peranan
penting emosi dalam kehidupan manusia, maka kemampuan untuk mengelola emosi
sangat diperlukan.
Bertitik tolak dari acuan di atas maka emosi manusia adalah wilayah
dari perasaan lubuk hati, naluri tersembunyi dan sensasi emosi. Apabila
dipercaya dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih
mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain disekitar kita.
Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang
biasa dikenal dengan IQ, nama keduanya tergabung secara dinamis. Pada
kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat
penting untuk mencapai kecerdasan di sekolah, di tempat kerja dan dalam
berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Kecerdasan emosional bukan hanya
memunculkan pemikiran intelek yang jernih tetapi juga pekerjaan hati manusia
lebih berfokus pada kemampuan menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai
tujuan.
Dalam proses pembelajaran,
kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik
tanpa pa rtisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang
disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi.
Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di
sekolah. Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya
dipahami siswa saja, melainkan juga
perlu mengembangkan emotional
intelligence siswa.
Secara global, penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan
sosial dan emosional mungkin lebih penting bagi keberhasilan hidup dari
pada kemampuan intelektual. Termasuk
juga dalam hal ini keberhasilan peserta didik dan kesuksesan dalam mencapai prestasi
belajarnya tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang tinggi, akan
tetapi faktor emosional yang antara lain berupa motivasi tinggi, empati, kemampuan pengendalian diri
sangat menentukan kesuksesan dan prestasi anak didik dalam kehidupannya di masa
yang akan datang. Dengan kata lain memiliki EQ (Emotional Quotient) tinggi
mungkin lebih penting dalam mencapai keberhasilan dari pada IQ (Intelejency
Quotient) tinggi yang hanya diukur
berdasarkan uji standar tehadap kecerdasan kognitif verbal dan non verbal.
Sebagaimana yang di jelaskan Pater Salovey yang di kutip oleh Lawrence, membagi aspek- aspek kecerdasan atau bentuk-
bentuk perilaku yang mempengaruhi kecerdasan emosi ke dalam lima wilayah utama,
dan ketika lima unsur kecerdasan emosional ini dihubungkan dengan pencapaian
prestasi belajar siswa, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kesadaran Diri (mengenali emosi diri)
Kesadaran
diri adalah mengenal perasaan, kemampuan dan kelemahan maupun intuisi sendiri
yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional anak. Anak yang memiliki
kesadaran diri akan memiliki tolak ukur dalam menentukan pertimbangan yang
berkaitan dengan perbuatan- perbuatan yang berkaitan dengan kemampuan diri.
Dengan kesadaran diri yang tinggi akan menuntun anak untuk bisa mengenali
dirinya sendiri, mengerti potensi yang dimilikinya, tanpa harus bingung akan
cobaan, dan berbagai macam pengaruh dari luar yang tidak sesuai dengan dirinya,
sehingga hal ini akan menggiring anak untuk mampu meraih puncak prestasi
sebagimana yang telah dia cita- citakan.
2.
Pengaturan Diri (Mengelola Emosi)
Mengelola
emosi, atau pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengelola kemampuan, kondisi
dan sifat diri sendiri, dimana dalam keadaan ini orang yang mampu mengelola
emosinya dapat menempatkan emosinya secara proporsional, seperti menghibur diri
saat sedih , tidak tergesa- gesa, tidak mudah bosan dan berusaha menghindarkan
dirinya dari perilaku yang buruk. Kemampuan dalam mengelola emosi inilah yang
harus dimiliki oleh siswa guna mencapai prestasi belajarnya. Siswa yang
memiliki intelegensi yang baik, akan te tapi lemah dalam pengelolaan emosinya,
dipastikan tidak akan mampu memperoleh prestasi yang tertinggi, karena dia akan
mudah bosan ketika terbentur dengan sedikit saja kegagalan, dia juga akan mudah
stres dengan berbagaimacam problematika hidup yang berwar na- warni.
3.
Memotivasi Diri
Orang
yang term otivasi mempunyai keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan
mengatasi rintangan- rintangan. Perkembangan kemampuan anak memotivasi diri
searah dengan kemampuan anak dalam memecahkan masalah. Dengan memberi
pengalaman memecahkan berbagai masalah, anak akan mempunyai pengalaman yang berguna sebagai
problem solving ketika menghadapi maslah berikutnya dan hal ini berlanjut terus
menerus. Termasuk dalam hal ini, motivasi untuk terus maju, berkembang, dan
mencapai puncak prestasi mutlak dimiliki oleh setiap siswa. Karena tanpa ada
motivasi dari dalam diri mereka sendiri, mereka tidak akan menjadi maju dan
berubah menuju arah yang lebih baik.
4.
Empati (mengenali emosi orang lain)
Empati
adalah kebutuhan emosional anak yang bergantung pada kesadaran emosinya dalam
keterampilan bergaul. Siswa yang empatik lebih mampu (peka) menangkap sinyal-
sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa- apa yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain. Siswa yang empatik lebih mampu dekat dan mengambil hati
gurunya daripada siswa yang hanya memiliki keunggulan kecerdasan otaknya saja. Kemampuan
empati ini sangatlah di perlukan, karena dengan mengenali emosi orang lain,
mampu mengambil hati orang lain, merupkan salah satu langkah untuk memperoleh
kesuksesan dan prestasi. Hal ini karena masnusia adalah makhluk sosial, mereka
tidak akan mampu hidup sendiri, oleh karena itu untuk menuju kesuksesan
hidupnya manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
5.
Keterampilan Sosial (membina hubungan)
Kemampuan
dalam membina hubungan merupakan hasil dari kemampuannya mengelola emosi diri
dan emosi orang lain, dan hal ini haruslah di ajarkan kepada peserta didik,
karena dengan kemampuannya membina hubungan yang baik dengan lingkungan
sosialnya, mualai dari sesama teman belajarnya, dengan gurunya, dengan semua
stakeholder yang ada di sekolah maupun dengan orang tua dan masyarakat
disekitarnya, maka akan menghantarkan mereka menuju kesuksesan dan pencapaian
prestasi baik ketika masih di bangku sekolah maupun ketika sudah hidup di
masyarakat nanti.
Banyak
kejadian yang ada di masyarakat bahwa anak- anak yang memiliki kwalitas
akademik baik, akan tetapi mereka tidak berguna dan seakan- akan ilmunya tidak
bermanfaat untuk masyarakat, hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki ketrampilan
dalam membina hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya. Mereka hanya
sibuk sendiri dengan ilmunya, dan profesinya, tanpa mau mengerti akan orang
lain dan lingkungan sosial yang mereka tempati.[2]
B.
MULTIPLE INTELLIGENCE
Sejumlah pakar psikologi
berpandangan bahwa intelegensi tidak dapat diukur melalui pengukuran kemampuan
skolastik saja (kemampuan yang diajarkan di sekolah).Adapun
satuan angka yang mereka peroleh atas hasil pengukuran tersebut tersaji dalam
satuan IQ (Intelligence Quotient) yang menunjukkan taraf kemampuan seseorang.[3]
Gardner (1983), menjelaskan bahwa
intelegensi bukan merupakan suatu konstruk unit tunggal, namun merupakan
konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapatberdiri sendiri. Menurutnya
ada 10 bentuk intelegensi yakni :
1)
Intelligensi bahasa (linguistic) : kemampuan memanipulasi
kata-kata dalam bentuk tlisan maupun lisan. Contohnya dalam pembuatan puisi.
2)
Intelligensi logika-matematika (logic-mathematical) :
kemampuan dalam segi bentuk angka-angka dan konsep menurut logika.
3)
Intelligensi keruangan (spatial). Contohnya : pelaut, insinyur dan dokter
bedah.
4)
Intelligensi musikal. Contohnya pada intonasi, irama dan harmoni.
5)
Intelligensi kinestetik (bodily kinesthetic). Contoh penari
dan atlet.
6)
Intelligensi interpersonal. Contohnya ahli sufi dan agamawan.
7)
Intelligensi intrapersonal (Kemampuan memahami orang lain).
8)
Intelligensi naturalis
9)
Intelligensi spiritual
10)
Intelligensi eksistensial
Hal utama untuk meningkatkan inteligensi adalah dengan menigkatkan
kesejahteraan hidup.Hal ini sangat membantu mempengaruhi perkembangan anak
dalam suatu keluarga. Karena perkembangan intelligensi bukan sekedar akibat
pengaruh aspek genetik yakni hal ynag tidak bisa dipaksakan perkembangan dan
pertumbuhannya, maka hal yang bukan genetik masih bisa ditangani dengan
caraseperti disebutkan diatas. Untuk membentuk anak yang baik, kondisi
kesehatan dan kesejahteraan ibu saat hamil pun bisa berpengaruh pada tingkat
intelligensi anak.Namun perlu diperhatikan, meskipun potensi intelligensi
seseorag itu tinggi, jika tidak diasah maka tidak akan muncul dengan optimal.[4]
Linguistik
Kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan (misalnya,
sebagai seorang orator, pendongeng, atau politisi) maupun tulisan (misalnya,
sebagai penyair, penulis naskah drama, editor atau jurnalis). Kecerdasan ini
mencakup kemampuan untuk memanipulasi sintaks atau struktur bahasa, fonologi
atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dan dimensi pragmatis atau
kegunaan praktis dari bahasa. Beberapa manfaatnya termasuk retorika
(menggunakan bahasa untuk meyakinkan orang lain melakukan aksi tertentu),
mnemonik (menggunakan bahasa untuk mengingat informasi), penjelasan
(menggunakan bahasa untuk menginformasikan), dan metabahasa (mengunakan bahasa
untuk membicarakan tentang bahasa itu sendiri).
Logis-matematis
Kemampuan menggunakan angka secara efektif (misalnya, sebagai ahli
matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik) dan untuk alasan yang baik
(misalnya, sebagai seoran ilmuwan, pemrogram komputer, atau ahli logika).
Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap pola-pola dan hubungan-hubungan yang
logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi, dan abstraksi
terkait lainnya. Jenis-jenis proses yang digunakan dalam pelayanan kecerdasan
logis-matematis mencakup kategorisasi, klasifikasi, kesimpulan, generalisasi,
perhitungan dan pengujian hipotesis.
Spasial
Kemampuan untuk memahami dunia visual-spasial secara akurat (misalnya,
sebagai pemburu, pramuka, atau pemandu) dan melakukan perubahan-perubahan pada
persepsi tersebut (misalnya, sebagai dekorator interior, arsitek, seniman, atau
penemu). Kecerdasan ini melibatkan kepekaan terhadap warna, garis, bentuk,
ruang, dan hubungan-hubungan yang ada di antara unsur-unsur ini. Hal ini
mencakup kemampuan untuk memvisualisasikan, mewakili ide-ide visual atau
spasial secara grafis, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam sebuah
matriks spasial.
Kinestetik-tubuh
Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide-ide dan
perasaan-perasaan (misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet, atau
penari) dan kelincahan dalam menggunakan tangan seseorang untuk menciptakan
atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai seorang perajin, pematung, mekanik,
atau ahli bedah). Kecerdasan ini meliputi keterampilan fisik tertentu seperti
koordinasi, keseimbangan, ketangkasan, kekuatan, fleksibilitas, dan kecepatan,
serta kapasitas-kapasitas proprioseptif, taktil, dan haptic.
Musikal
Kemampuan untuk merasakan (misalnya, sebagai penikmat musik), membedakan
(misalnya, sebagai kritikus musik), mengggubah (misalnya, sebagai komposer),
dan mengekspresikan (misalnya, sebagai seorang performer atau pemain musik)
bentuk-bentuk musik. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme, nada atau
melodi, dan timbre atau warna nada dalam sepotong musik. Seseorang dapat
memiliki pemahaman musik yang figural atau “dari atas ke bawah” (global,
intuitif), pemahaman musik yang formal atau “dari bawah ke atas” (analitis,
teknis), atau keduanya.
Interpersonal
Kemampuan untuk memahami dan membuat perbedaan-perbedaan pada suasana hati,
maksud, motivasi, dan perasaan terhadap orang lain. Hal ini dapat mencakup
kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, dan gerak tubuh; kemampuan untuk
membedakan berbagai jenis isyarat interpersonal; dan kemampuan untuk merespons
secara efektif isyarat-isyarat tersebut dalam beberapa cara pragmatis
(misalnya, untuk mempengaruhi sekelompok orang agar mengikuti jalur tertentu
dari suatu tindakan).
Intrapersonal
Pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan
kemampuan itu. Kecerdasan ini termasuk memiliki gambaran yang akurat tentang
diri sendiri (kekuatan dan keterbatasan seseorang); kesadaran terhadap suasana
hati dan batin, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan; serta kemampuan
untuk mendisiplinkan diri, pemahaman diri dan harga diri.
Naturalis
Keahlian dalam mengenali dan mengklasifikasikan berbagai spesies flora dan
fauna, dari sebuah lingkungan individu. Hal ini juga mencakup kepekaan terhadap
fenomena alam lainnya (misalnya, formasi-formasi awan, gunung, dll) dan, dalam
kasus yang tumbuh di lingkungan perkotaan, kemampuan untuk membedakan
benda-benda mati seperti mobil, sepatu, dan sampul CD.
Faktor yang mempengaruhi inteligensi
1.
Faktor pembawaan
Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.
2.
Faktor minat dan pembawaan yang khas
Faktor
ini merupakan dorongan atau motif bagi perbuatan itu sendiri. Misalnya,
seseorang mempunyai minat untuk belajar sesuatu, maka apa yang ia minati itu
dapat memberikan motivasi untuk berbuat lebih baik dan lebih giat.
3.
Faktor pembentukan
Faktor
ini adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelligensi. Ada dua bentuk pembentukan yakni : sengaja, seperti yang
dilakukan disekolah dan pembentukan tidak sengaja misalnya pengaruh alam
sekitarnya.
4.
Faktor kematangan
Seperti
yang kita ketahui, bahwa manusia seiring berjalannya waktu akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Organ dan jiwa manusia dikatakan telah matang
jika telah mampu mengoperasikan fungsinya masing-masing.Kematangan berhubungan
denga umur.
5.
Faktor kebebasan
Artinya
manusia bebas memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi
juga memilih masalah yang dibutuhkannya.[5]
Faktor pembawaan ataupun lingkungan masih menjadi kontroversi.
Namun sekarang ini kita lebih kepada konsep heritabilitas (heritability),
yaitu konsep mengenai sejauh mana sifat dapat diwariskan. Dengan itu dapat
diperoleh variasi suatu sifat yang disebabkan oleh faktor keturunan(herediter)
dan sekaligus diketahui besarnya porposi sifat tersebut yang ditentukan oleh
lingkungan. Suatu gen disebut dominan ketika ia mengalahkan gen lain, dan gen
resesif merupakan gen yang ditekan atau dikalahkan oleh gen lain. Faktor
lingkungan sendiri berpengaruh pada individu, proses yang paling dominan yaitu
belajar. Apa yang dipelajarinya akan menentukan reaksi terhadap stimulus yang
di hadapinya.[6]
Bagi pendidik ada 6 cara untuk menilai kecerdasan multiple siswa, yaitu:
1. Mengumpulkan
dokumen
2. Melihat
catatan-catatan sekolah
3. Berbicaralah
dengan guru lainnya
4. Berbicaralah
dengan orang tua
5. Bertanya kepada
siswa
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kecerdasan emosional (Emotional Quotient) adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
perasaannya sendiri dan orang lain, kemampuan untuk beradaptasi pada situasi
dan kondisi yang berbeda dan kemampuan untuk mengendalikan atau menguasai emosi sendiri atau orang lain
pada situasi dan kondisi tertentu serta mampu mengendalikan reaksi serta
perilakunya.
Gardner menjelaskan bahwa intelegensi bukan merupakan suatu konstruk
unit tunggal, namun merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing
dapat berdiri
sendiri. Jadi, kecerdasan inilah yang juga disebut sebagai multiple intelligence.
Yang diantaranya terdiri dari Intelegensi Linguistik, Logis-matematis, Spasial,
Kinestetik-tubuh, Musikal, Interpersonal, Intrapersonal dan Naturalis.
SARAN
Kami
berharap, makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Namun, makalah ini
sangatlah jauh dari kata sempurna, dan masih sangat perlu diperbaiki karena
masih banyak kekurangannya.Oleh sebab itu penyusun dengan senang hati menerima
kritik dan saran dari para pembaca untuk memperbaiki makalah ini agar lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, MA, Saifuddin, Psikologi
Inteligensi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Ed.1. 2002.
Sahadarma,Monty P.,
Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Jakarta : Pustaka Populer Obor,
2003.
Armstrong,
Thomas. Kecerdasan Multipel di Dalam
Kelas Edisi Ketiga. (USA: Published
by the Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD). 2009.
Jurnal “KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL QUOTIENT) DALAM
PENINGKATAN
PRESTASI BELAJAR” oleh Asna Andriani. STAI Muhammadiyah Tulungagung.
Dipublikasi Juni 2014.
http://jimmyandrio.blogspot.com/2013/09/makalah-psiologi-pendidikan.html. Diakses pada 13 November 2017 pukul 16.00 WIB.
[1]
Jurnal “KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL QUOTIENT) DALAM
PENINGKATAN
PRESTASI BELAJAR” oleh Asna Andriani. STAI Muhammadiyah Tulungagung.
Dipublikasi Juni 2014.
[2]
Jurnal “KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL QUOTIENT) DALAM
PENINGKATAN
PRESTASI BELAJAR” oleh Asna Andriani. STAI Muhammadiyah Tulungagung.
Dipublikasi Juni 2014.
[3] Monty P.
Sahadarma, Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Jakarta : Pustaka
Populer Obor, 2003, hal 3 & 5.
[4] Ibid,
hal 22-23
[5]http://jimmyandrio.blogspot.com/2013/09/makalah-psiologi-pendidikan.html. Diakses pada tanggal 13 November 2017
pukul 16.00 WIB.
[6] Drs.
Saifuddin Azwar, MA, Psikologi Inteligensi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Ed.1, 1996), hlm. 72-73.
0 komentar:
Posting Komentar